Pintasan Waktu Kebijakan Furlough yang Dialami Buruh Freeport

Pintasan Waktu Kebijakan Furlough yang Dialami Buruh Freeport

Jakarta, KPonline – LOKATARU—Law and Human Right Office merilis laporan mengenai kondisi hak asasi manusia ribuat pekerja PT Freeport Indonesia yang melakukan pemogokan. Dalam laporan yang diterbitkan pada bulan Februari 2018, disampaikan dengan jelas apa yang menjadi latar belakang peristiwa yang berakibat ribuan orang kehilangan pekerjaan ini.

Lokatura mengawali laporannya dengan menyampaikan latar belakang peristiwa ini. Setidaknya ada tiga hal yang menarik untuk dicermati. Kebangkitan serikat pekerja PUK SPKEP SPSI dan peristiwa Pemogokan tahun 2011, Negosiasi perpanjangan kontrak karya dan divestasi saham PT Freeport Indonesia, dan efisiensi yang dilakukan perusahaan.

Bacaan Lainnya

Kebangkitan serikat pekerja PUK SPKEP SPSI dan peristiwa Pemogokan tahun 2011

Setelah 59 tahun PT. Freeport Indonesia beroperasi, untuk pertama kalinya pekerja Freeport melakukan pemogokan pada tanggal 15 September 2011. Pemogokan yang berjalan selama 3 bulan tersebut terjadi setelah sebelumnya pemogokan dilakukan pada bulan Juli 2011 pihak manajemen PT. Freeport Indonesia menolak memenuhi tuntutan para buruh yang dipimpin oleh pengurus PUK SPKEP Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).

Para pekerja saat itu menuntut kenaikan antara US $17,5 hingga US $ 43 per jam, sebab mereka bekerja dengan sistem 10 hari kerja 2 hari libur atau 14 hari kerja 3 hari libur ini hanya dibayar US $ 3,8 per jam. Ribuan pekerja freeport turut ambil bagian dalam pemogokan tersebut.

Pemogokan yang pada mulanya hanya melibatkan pekerja PT. Freeport Indonesia itu kemudian berhasilkan melibatkan buruh-buruh dari perusahaan kontraktor Freeport seperti PT. Redpath, Rio Tinto, Pangan Sari bahkan masyarakat adat turut ambil bagian bersolidaritas pada aksi tersebut.

Para buruh yang didukung oleh masyarakat adat Amungme dan Kamoro yang bermukim di Timika melakukan blokade-blokade jalan yang berakibat pada lumpuhnya proses produksi dan juga lumpuhnya kota Timika. Blokade ini dilakukan terutama setelah aksi-aksi damai dihadapi oleh aparat kepolisian dan tentara dengan penembakan terhadap kerumunan peserta aksi massa yang tengah berkumpul dan berorasi di gorong-gorong yang berakibat meninggalnya Petrus Ayamiseba dan Leo Wandagau serta tiga buruh terluka.

Dampak terhadap pemogokan tersebut membuat Freeport McMoran Company mengalami penurunan produksi 22,7% dari tahun sebelumnya dan saham Freeport anjlok. Belum lagi aksi serupa juga dilakukan oleh buruh-buruh Freeport di Peru.

Sejak saat itu, untuk pertama kalinya kondisi pekerja PT. Freeport Indonesia menjadi lebih baik. Namun kondisi itu tidak berlangsung lama. Manajemen diduga mulai melakukan berbagai upaya untuk menjinakkan dan menghancurkan serikat pekerja dengan berbagi cara. Tercatat ketua PUK SPSI, Sudiro berkali-kali ditawari sejumlah uang dan posisi asalkan mau bekerja dibawah control manjemen. Gagal membujuknya, manajemen berikutnya berhasil memecah belah pengurus setelah sebelumnya mendorong kriminalisasi terhadap Sudiro dengan tuduhan penggelapan uang iuran anggota serikat pekerja.

Negosiasi Perpanjangan Kontrak Karya dan Divestasi Saham PTFI

Pada Januari 2015, Pemerintah Indonesai mengeluarkan undang-undang baru mengenai pertambahan. UU tersebut memiliki implikasi serius karena dengan demikian dasar hukum Freeport tidak bisa lagi menggunakan skema Kontrak Karya. Kendati Freeport tetap bersikukuh dengan skema Kontrak Karya yang baru akan berakhir pada tahun 2021, Pemerintah Indonesia memaksa Freeport untuk mentaati UU tersebut.

Berdasarkan UU Pertambangan tersebut, Freeport harus mengubah izin operasional dirinya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Freeport juga harus membayar pajak dan royalty yang lebih besar dari yang diatur dalam Kontrak Karya. Lebih jauh, Freeport juga harus membangun smelter di Indonesia dan melakukan divestasi 51% sahamnya.

Untuk menekan Freeport, January 2017, Pemerintah Indonesia mengeluarkan larangan export konsentrat and mengeluarkan PP No.1 Tahun 2017 yang mengharuskan perusahaan tambang mineral 9termasuk freeport) untuk mengubah statusnya dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Export konsentrat Freeport sempat terhenti selama 4 bulan dalam kurun waktu Januari-April 2017.

Hal ini diakibatkan oleh karena hingga sampai 10 februari 2017, PT Freeport belum berubah status menjadi IUPK. Kendati telah memperoleh rekomendasi export sejak 17 Februari 2017, export baru kembali dilakukan mulai April 2017. Perusahaan mengklaim sejak saat itu kapasitas produksi Freeport hanya mencaai 40% dari total produksi.

Hal ini dijadikan alasan oleh manajemen Freeport untuk melakukan efisiensi dan pengurangan jumlah karyawan. Freeport berdalih harus melakukan efisiensi karena penurunan produksi yang signifikan dan naiknya beban perusahaan.

Kebijakan Efisiensi Perusahaan

Barlarut-larutnya perundingan dan negosiasi perpanjangan kontrak karya dan investasi Freeport McMoran dengan Pemerintah Indonesia membawa pada situasi ketidakpastian mengenai kelanjutan bisnis PT. Freeport Indonesia termasuk nasib pekerja. Menghadapi tekanan pemerintah Indonesia yang hanya memberikan izin ekport per enam bulan, dengan alasan efisiensi, Freeport mengancam akan melakukan PHK besar-besaran karyawannya.

Kendati secara teknis belum ada pembuktian terkait kondisi keuangan sesungguhnya yang bisa menjustifikasi kebijakan efisiensi, Freeport tetap mengeluarkan kebijakan furlough atau merumahkan karyawan. Dari sekitar total 12 ribu pekerja tetap dan 20 ribu pekerja kontrak, Freeport mulai mengurangi 10% jumlah karyawannya melalui kebijakan furlough.

Furlough menyasar beberapa pengurus dan komisaris Serikat Pekerja yang cukup vokal, hal ini memberi indikasi awal upaya perusahaan yang menggunakan momen tersebut untuk melemehkan kedudukan serikat pekerja. Beberapa pihak mengecam PHK oleh Freeport yang ditenggarai sebegai alat Freeport dalam mendesakkan kepentingannya terhadap pemerintah Indonesia.

Pintasan waktu terjadinya furlough di PT Freeport Indonesia./Infografis: Media Perdjoeangan

Proses Implementasi Furlough

Kebijakan efisiensi biaya yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia dengan mengeluarkan kebijakan Furlough tanggal 26 February 2017 dengan mengurangi jumlah tenaga kerja baik kontraktor, privatisasi maupun Pekerja PTFI dijalankan tanpa ada kriteria yang jelas dalam pemilihan karyawan serta tidak adanya pemberitahuan atau perundingan terlebih dahulu terhadap para karyawan maupun serikat agar mencapai kesepakatan diantara kedua belah pihak.

Para pekerja yang akan dikembalikan ketempat asal, hanya diberikan waktu selama 2 hari untuk mengumpulkan barang pribadi. Terkait hal ini Management PT Freeport mengirimi ratusan amplop kepada para pekerja setiap harinya secara acak baik lewat Departement maupun Barrak Pekerja yang berisi pemberitahuan Program Furlough yang mengharuskan para pekerja menuruti dan mengikuti program yang ada tanpa ada kesempatan untuk membela diri. Di samping itu, manajemen melalui camp office dan security, melakukan tindakan kekerasan dengan mengeluarkan barang secara paksa dari barak karyawan.

Penolakan Permintaan Perundingan dari PUK SPKEP SPSI Untuk Membahas Furlough

Para pekerja telah meminta ajakan perundingan terhadap PT Freeport terkait status furlough sebanyak tiga kali yaitu pada tanggal 20 Februari 2017, 11 Maret 2017, dan pada 21 Maret 2017.

Terkait dengan permintaan-permintaan perundingan untuk menyelesaikan permasalahan furlough, PT. Freeport memberikan beberapa balasan dimana perusahaan tetap menolak ajakan perundingan dengan dalih bahwa ―keputusan untuk membebaskan pekerja dalam bentuk menjalani cuti ke tempat asal disertai dengan pembebasan kewajiban kerja adalah salah satu upaya mengurangi kegiatan operasional yang dilakukan sebagai tahapan berikutnya dari upaya efisiensi, sedang melakukan program efisiensi yang mana dalam hal ini tidak perlu adanya perundingan dengan pekerja.

Aksi Tanggal 12 April dan Bentrokan 20 April

Resah dengan perlakuan manajemen dan penerapan Furlough, mulai tanggal 9 April banyak pekerja mulai turun dari tempat kerja. Lalu bertepatan dengan momentum sidang pertama kasus Sudiro, pada tanggal 12 April, pekerja dari berbagai tempat secara spontan berkumpul dan menggelar aksi di depan Pengadilan Negeri Timika menolak furlough dan bersolidaritas terhadap Sudiro.

Kendati sempat terjadi cekcok mulut antara polisi dan ibu-ibu, secara keseluruhan aksi berjalan damai dan tidak terjadi bentrokan dengan kepolisian yang mengawasi aksi demonstrasi.

Pada sidang kedua, tanggal 20 April, massa kembali berkumpul di depan pengadilan untuk bersolidaritas terhadap Sudiro. Pada saat itu terjadi sedikit bentrokan dengan kepolisian setelah sebelumnya pekerja dan polisi saling dorong. Polisi mengeluarkan tembakan peringatan untuk membubarkan massa. Akhirnya massa diarahkan ke gedung serbaguna dan akhirnya aksi diakhiri.

Dalam peristiwa bentrokan tersebut, sekitar 4 orang pekerja tertembak yakni Muhammad Faidsal (25 tahun) tertembak di bagian pantat, Zaenal Arifin (44) tertembak dibagian paha kanan, Puguh Prihandoni (39 tahun) tertembak di kaki kanan, dan Andrian W. Santoso (38) tertembak di bagian kaki kanan. Keseluruhannya dirawat dirumah sakit/ RSUD Timika, 3 diantaranya menjalani rawat inap

Mengirimkan Pemberitahuan Mogok Kerja

Dikarenakan tidak digubrisnya permintaan perundingan yang diajukan Serkiat pekerja, PUK SPKEP SPSI akhirnya berkirim surat terhadap perusahaan pada tanggal 20 April 2017 untuk memberitahukan rencana mogok kerja yang akan dilaksanakan pada 1 Mei 2017-22 Mei 2017. Kemudian diadakan pertemuan dengan Kapolda Papua di Jayapura tertanggal 19 Mei 2017 dimana PUK meminta agar Kapolda membantu penyelesaian persoalan ketua PUK dan penyelesaian pemogokan yang terjadi.

Pada 22 Mei 2017, PUK mengeluarkan surat perpanjangan mogok kerja kedua yang akan berlangsung dari tanggal 31 Mei hingga 30 Juni 2017 yang selanjutnya di perpanjang kembali melalui Surat Perpanjangan Mogok kerja ke 3 yang dikeluarkan oleh PUK pada 22 Juni 2017 yang akan dilaksanakan pada 1 Juli sampai 30 Juli 2017 karena belum ada kesepakatan yang terjadi antara PUK SPKEP SPSI PTFI dengan Management PTFI.

Pos terkait