Platform Work di Indonesia Memerlukan Regulasi Khusus, Bukan Penyangkalan

Pernyataan dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dalam menanggapi pengesahan Undang-Undang Pekerja Platform di Singapura, yang menyatakan bahwa Indonesia “tidak perlu ikut-ikutan,” merupakan sebuah langkah yang kurang tepat. Sebagai negara dengan populasi pekerja gig yang terus berkembang, Indonesia justru harus melihat kebijakan Singapura sebagai inspirasi dalam merumuskan regulasi yang lebih baik untuk melindungi pekerja di sektor platform.

“Ya kan itu regulasi Singapura yang baru saja terbit, bukan berarti negara lain termasuk kita harus ikut ikutan kan?” Hal ini diungkapkan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri, sebagaimana dikutip Tempo.co, 13 September 2024.

Platform digital, seperti ojek online dan pengiriman barang, telah menciptakan jutaan lapangan kerja baru. Namun, sistem hubungan kerja yang terbangun di dalamnya sering kali tidak adil, dan pekerja di sektor ini kerap kehilangan hak-hak dasar, seperti jaminan sosial, upah layak, dan perlindungan keselamatan kerja. Pernyataan Kemnaker yang menolak mengikuti jejak Singapura dapat dianggap sebagai sinyal bahwa pemerintah mengabaikan urgensi dalam mengatur kondisi kerja yang lebih baik bagi pekerja di sektor ini.

Salah satu masalah utama pekerja platform adalah status mereka yang tidak dianggap sebagai pekerja tetap, melainkan mitra atau kontraktor independen. Ini membuat mereka tidak dilindungi oleh aturan ketenagakerjaan yang ada, sehingga rentan terhadap eksploitasi. Sebagai contoh, mereka tidak memiliki akses terhadap jaminan hari tua, asuransi kesehatan, atau cuti berbayar. Selain itu, meski jam kerja mereka sering kali lebih lama dari pekerja formal, upah yang diterima masih sangat rendah.

Tanpa regulasi khusus, pekerja gig akan terus berada di area abu-abu hukum. Padahal, negara-negara maju lainnya, termasuk Singapura, telah mengambil langkah maju untuk memberikan perlindungan yang lebih komprehensif kepada pekerja di sektor ini. Hal ini bukan sekadar mengikuti tren, tetapi sebuah langkah yang diperlukan untuk menyesuaikan regulasi ketenagakerjaan dengan perkembangan teknologi dan realitas ekonomi digital.

Langkah Singapura dalam mengesahkan UU Pekerja Platform adalah sebuah contoh bagaimana negara dapat beradaptasi dengan perubahan di pasar tenaga kerja. Undang-undang ini tidak hanya memberikan pengakuan kepada pekerja gig, tetapi juga menyediakan perlindungan yang sebelumnya hanya dinikmati oleh pekerja tetap. Ini termasuk asuransi, tunjangan, serta jaminan perlindungan dari pemutusan hubungan kerja sepihak.

Kemnaker seharusnya tidak melihat langkah ini sebagai “ikut-ikutan” tanpa dasar. Sebaliknya, ini adalah momentum bagi Indonesia untuk mulai menyusun kerangka kerja hukum yang bisa memastikan bahwa pekerja gig juga mendapatkan hak-hak dasar mereka. Jika dibiarkan tanpa regulasi yang jelas, pekerja platform di Indonesia akan terus berada dalam ketidakpastian dan rentan terhadap penyalahgunaan.

Dengan jumlah pekerja gig yang terus bertambah, Indonesia tidak bisa terus mengabaikan perlunya regulasi yang khusus untuk melindungi mereka. Sistem kerja yang lebih fleksibel, seperti yang ada di sektor platform, membutuhkan aturan yang fleksibel tetapi tetap melindungi hak-hak pekerja. Pemerintah harus memastikan bahwa pekerja gig tidak diperlakukan sebagai pekerja kelas dua, tetapi mendapatkan pengakuan dan perlindungan yang setara dengan pekerja di sektor formal.