Potret Buram Penegakan hukum Ketenagakerjaan Ini Paparan Anto Bangun Ketua KC FSPMI Labuhanbatu

Potret Buram Penegakan hukum Ketenagakerjaan Ini Paparan Anto Bangun Ketua KC FSPMI Labuhanbatu
Oplus_131072

Medan,KPonline, – Supremasi hukum merupakan sebuah prinsip yang menyatakan bahwa “hukum memiliki kedudukan tertinggi dan harus diterima sebagai acuan dalam segala hal, diharapkan dapat melahirkan ketertiban, hubungan yang harmonis dalam tata kehidupan,dan keadilan bagi seluruh masyarakat”

 

Didalam dunia kerja penegakan hukum ketenagakerjaan merupakan salah satu pilar penting melindungi para pekerja dari tindakan, perbuatan sewenang-wenang, diskriminatif dari para pelaku usaha yang terdiri dari badan hukum, badan usaha dan perorangan, terutama perlindungan atas hak- hak normatif pekerja.Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penegakan hukum ketenagakerjaan masih jauh dari kata optimal. Banyak kasus pelanggaran hak pekerja yang tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah melalui pihak aparat penegak hukum (APH) dibidang ketenagakerjaan, dalam hal ini Pengawas Ketenagakerjaan yang ada disetiap provinsi, demikian halnya terhadap legislatif yang memiliki fungsi mewakili suara dan aspirasi rakyat dan mengawasi pelaksanaan undang-undang serta kebijakan pemerintah, tidak menjalankan fungsinya dengan maksimal dan optimal,menyebabkan para pekerja sering kali menjadi korban dari tindakan sewenang-wenang yang sarat dengan pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia dari para pengusaha.

 

Lemahnya penegakan hukum ketenagakerjaan berakibat kepada maraknya praktik kerja kontrak dan outsourcing yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Meski jelas diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Junto Undang- Undang Nomor:6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, tetapi masih banyak perusahaan yang mengabaikan ketentuan ini, seperti larangan hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada semua jenis pekerjaan yang berhubungan langsung kepada proses produksi (Core Business) atau pekerjaan pokok, dan pemberlakuan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang dilarang diskriminatif dan wajib diberlakukan adil dan sama untuk semua pekerja diperusahaan, baik yang hubungan kerjanya berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), terhadap kecurangan pengusaha ini pemerintah dan legislatif seolah tutup mata. Akibatnya, banyak pekerja yang berada dalam ketidakpastian kerja, dengan status yang rentan dan tidak mendapatkan hak-hak dasar seperti, pembayaran upah tidak sesuai ketentuan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan/ atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), tidak mendapatkan upah lembur atas kelebihan jam kerja, tidak mendapatkan jaminan sosial baik Jaminan sosial ketenaga kerjaan juga jaminan sosial kesehatan.

 

Selain tidak mendapatkan hak dasar pengusaha cenderung mengeksploitasi pekerja kearah sistim kerja paksa dengan membebankan target kerja diabawah batas kemampuannya, sehingga kapasitas pekerja diperusahaan tidak ubahnya seperti sapi perah atau mesin produksi.

 

Selain itu, proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sering kali berlarut-larut dan tidak memberikan keadilan bagi pekerja. Dalam banyak kasus, pengusaha yang melanggar hak-hak pekerja justru mendapatkan perlindungan atau perlakuan yang lebih ringan atau perlakuan istimewa dari pihak penegak hukum, sementara pekerja yang memperjuangkan haknya justru mengalami intimidasi dan tekanan. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum ketenagakerjaan masih sangat bias dan lebih memihak kepada kepentingan pengusaha.

 

Kurangnya pengawasan dan penegakan hukum yang tegas juga memperburuk kondisi ini. Pengawasan yang dilakukan oleh instansi terkait sering kali bersifat formalitas, tanpa ada upaya nyata untuk menindak perusahaan hal ini dapat dilihat dengan bukti fakta dari ribuan pengusaha yang melanggar hukum hanya hitungan jari yang perkaranya sampai kepengadilan.

 

Fakta lain tentang lemahnya penegakan hukum ketenaga kerjaan dikuatkan lagi dengan keberadaan jumlah personil pengawas ketenaga kerjaan disatu kantor Unit Pelayanan Teknis Pengawas Ketenaga Kerjaan yang membawahi wilayah lima sampai enam kabupaten/ kota disebuah provinsi, jumlah personil pegawai pengawas berkisar hanya 10 (sepuluh) orang, sementara di enam wilayah kabupaten/kota tersebut terdapat ratusan hingga ribuan perusahaan dengan jumlah pekerja mencapai ratusan ribu orang.

 

Selain jumlah perso nil disatu Kantor Unit Pelayanan Teknis yang sangat minim jumlahnya, setiap kasus pidana ketenagakerjaan pegawai pengawas wajib berkoordinanasi dengan kepolisian ditingkat Polda, pelaporan tidak dapat dilakukan pada tingkat Polres ya Kabupaten/ Kota.

 

Kotornya para Aparat Penegak Hukum (APH) dengan praktek jual beli hukum, yang cenderung lebih memihak kepada yang punya uang, dan setiap melapor harus pakai uang adalah sisi gelap lain penegakan hukum ketenaga kerjaan dinegeri ini.

 

Sulitnya pekerja untuk mendapatkan akses hukum dan keadilan ini merupakan sebuah bukti tidak adanya kesungguhan dari pemerintah untuk melindungi para pekerja, dan dapat disimpulkan bahwa undang- undang tentang ketenagakerjaan hanya sekedar teks yang tidak memiliki arti dan fungsi untuk melindungi para pekerja.

 

Sebagai solusi demi tegaknya supremasi hukum dibidang ketenaga kerjaan diperlukan reformasi sistem penegakan hukum ketenagakerjaan, para pekerja diseluruh Indonesia wajib bersatu melakukan aksi-aksi industrial, seperti mogok kerja massal guna menekan Pemerintah dan legislatif, agar bisa bertindak lebih tegas dalam menegakkan aturan dan memberikan sanksi yang setimpal bagi semua perusahaan yang melanggarhukum, perlindungan terhadap hak-hak normatif pekerja harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan yang diambil, perlakuan yang adil dan sama dimuka hukum (Equlity before the Law) bagi para pekerja harus berwujud nyata, tidak hanya sekedar slogan saja, dan setiap pekerja harus dipastikan mendapatkan hak-haknya yang telah dijamin dan dilindungi oleh undang-undang.