Surabaya, KPonline – Semenjak diberlakukannya sistem pembayaran tertutup (Close Payment) oleh BPJS Kesehatan mulai pebruari 2018 ini, banyak pekerja yang kepesertaan BPJS kesehatannya tiba-tiba di non aktifkan di Jawa Timur.
Akibat dari pemberlakuan sistem tersebut salah satunya dialami oleh Ahmad Fahreza Pratama (7 th), anak salah seorang pekerja sebuah perusahaan swasta di Surabaya.
Reza adalah anak berkebutuhan khusus karena semenjak lahir mengalami kelainan Delay Speech/ADHD yang memerlukan penanganan lanjutan dan terapi rutin di sebuah RS di Gresik.
Awalnya orang tua Reza, Lucky Pratama tidak tahu menahu tentang aktif tidaknya kartu BPJS kesehatannya. Yang dia pahami setiap bulan ia rela dipotong upahnya oleh perusahaan untuk membayar iuran BPJS kesehatan.
Pada saat mengurus perpanjangan rujukan dari puskesmas, petugas Puskesmas menginformasikan bahwa kartu BPJS kesehatannya sudah tidak aktif lagi, barulah ia paham tidak aktifnya karena premi iuran BPJS kesehatan ternyata belum dibayar.
Karena sudah menjadi perawatan rutin maka dengan terpaksa mereka membayar sendiri biaya terapi Reza sembari menunggu pihak perusahaan membayar premi iuran BPJS kesehatan nya dan klaim perawatannya.
Dilansir dari berbagai media, Direktur Perluasan dan Pelayanan BPJS Kesehatan, Andayani Budi Lestari menjelaskan tujuan dari sistem ini adalah agar perusahaan taat pada kewajiban membayar iuran. Apabila perusahaan telat membayar atau menunggak iurannya maka resikonya kartu BPJS Kesehatan seluruh pekerja di perusahaan tersebut otomatis di non aktifkan.
Lucky, orang tua Reza sangat menyayangkan di non aktifkannya kepesertaan BPJS kesehatannya akibat kebijakan ini. Apalagi tanpa ada pemberitahuan dan informasi sebelumnya, baik dari perusahaan maupun dari BPJS kesehatan.
Tim pemantau jaminan sosial Jamkeswatch Jawa Timur ikut turun tangan membantu advokasi pasien sekaligus mengkaji sistem tersebut.
Jamkeswatch Jawa Timur menegaskan bahwa urusan memungut dan menyetor iuran adalah kewajiban perusahaan, namun sanksi yang diberikan malah diterimakan kepada pekerja. Ini sangat merugikan pekerja karena hilangnya hak jaminan sosialnya. Padahal pekerja sudah bersedia dipotong gajinya untuk bergotong royong membangun jaminan sosial. Belum lagi tidak ada solusi cepat, ketika pekerja dan keluarganya membutuhkan pelayanan kesehatan yang bersifat emergensi dan membutuhkan biaya besar.
Bambang
Relawan Jamkeswatch