Jakarta, KPonline – Kegagalan sistem kapitalisme dalam mensejahterakan umat manusia, membuat ketimpangan sosial makin menganga. Demikian kata Presiden Aspek Indonesia, Mirah Sumirat, dalam Dialog Nasional Tripartit Ketenagakerjaan Tentang Pengupahan di Wisma Antara, Kamis (20/3/2016). Selanjutnya, Mirah memaparkan, tema keadilan sosial dan kemitraan sosial belakangan menjadi tema central dalam diskusi-diskusi merumuskan desain dan pola hubungan industrial di banyak negara.
“Tinggal keadilan sosial dan kemitraan sosial seperti apa yang kita inginkan dan kita realisasikan?” Dia mengajukan sebuah pertanyaan.
Setelah terdiam beberapa saat, selanjutnya dia menyampaikan konsep keadilan sosial, seperti dibawah ini.
Jargon kemitraan sosial sesungguhnya bukan hal baru dalam diskusi hubungan industrial. Begitu juga dengan tema “sosial dialog” atau “sosial partnership”. ILO dalam berbagai programnya dan terbitannya selalu mengkampanyekan sosial dialog atau sosial partnership, termasuk di Indonesia.
Yang perlu kita kritisi adalah model dialog sosial seperti apa? Kalau hanya dialog antar serikat pekerja dan manajemen saja (bukan pengusaha) maka dialognya tidak akan menghasilkan apa-apa. Karena manajemen adalah para pekerja juga dan bukan pengambil kebijakan.
Kemitraan yang kita inginkan bukan hanya kaum buruh dijadikan mitra kerja, yang hanya dinilai skill dan produktivitasnya saja. Kemitraan sosial yang kita harapkan bagaimana kaum buruh dilibatkan dalam proses pengembangan usaha perusahaan, melalui program kepemilikan saham di perusahaan-perusahaan. Sehingga keadilan sosial, melalui sosial partnership bisa diterapkan secara maksimal. Sekaligus akan tercipta sebuah dialog sosial yang fair.
Kepemilikan saham bagi pekerja, dimulai dari adanaya upah yang layak dan sharing profit yang fair, sehingga buruh mendapatkan kesempatan untuk berkembang.
Peran negara dalam memberikan perlindungan sosial bagi buruh dan rakyat menjadi salah satu kata kunci berhasilnya hubungan industrial, dikarenakan negara punya peran dalam mewujudkan kesejahteraan pekerja dan rakyat.
Sembilan program jaminan sosial yang diatur dalam Konvensi ILO 102, adalah pekerjaan rumah setiap negara untuk diwujudkan. Indonesia sendiri baru menjalankan 5 program jaminan sosial, yakni: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pensiun. Sementara masih ada 4 program jaminan yang lain belum dijalankan, yakni: jaminan orang cacat, jaminan kehamilan, jaminan membesarkan anak, dan jaminan pengangguran.
Berbicara hubungan industrial maka tidak dapat dipisahkan dari pola hubungan antra buruh-perusahaan-pemerintah. Ini artinya, berbicara hubungan industrial tidak dapat memisahkan unsur dan peran pemerintah, dan bukan hanya berbicara hubungan antara buruh dan majikan saja. Output dari hubungan industrial adalah terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial bagi buruh, pengusaha, dan seluruh rakyat. (*)