Rakernas KSPI : Akhiri Kerakusan Korporasi dan Perkuat Gerakan Buruh

Rakernas KSPI : Akhiri Kerakusan Korporasi dan Perkuat Gerakan Buruh
Foto: Eddo Dos'Santoz

Jakarta, KPonline – Dalam 4 tahun pemerintahan Jokowi yang memastikan posisinya berpihak kepada investor/pemilik modal, gerakan buruh Indonesia mengahadapi berbagai tantangan yang tidak mudah, baik dalam konteks eksternal ataupun internal organisasi.

Ketidakmampuan pemerintahan Jokowi dalam memanage atau mengurus negara, membuat perekonomian yang mulai membaik di era SBY-Boediono kembali menjadi lemah. Hal ini menggambarkan Pemerintahan Jokowi gamang, gagal, dan tidak siap menghadapi persaingan bisnis global yang sangat kompetetip di era digital ini.

Berbagai kebijakan Jokowi di ketenagakerjaan seluruhnya tidak berpihak pada kaum buruh. Seperti PP Pensiun No 45 tahun 2015, PP No 78 tahun 2015 yang membatasi kenaikan upah minimum. Serta permenaker 16, permenaker 35, dan Perpres Nomor 20 tentang TKA.

Kebijakan ekonomi dan ketenagakerjaan Jokowi bukan berbasis pada UUD 1945 terutama pasal 27, 28, 31 dan 34 melainkan berbasis investasi.

Dari 15 paket kebijakan jokowi sejak 2015, keseluruhannya tidak berpihak pada kaum buruh. Namun justru untuk memudahkan masuknya investasi dengan alasan penciptaan lapangan pekerjaan.

Laporan Indef bulan lalu membantah jika investasi dari Cina menciptakan penciptaan lapangan pekerjaan yang signifikan. Karena yang dihasilkan pemerintahan Jokowi hanya 2.1 juta orang. Masih dibawah angka SBY-Boediono. Padahal angka investasi yang masuk jauh lebih besar.

Bukan penciptaan lapangan pekerjaan yang menguat, yang terjadi malah sebaliknya PHK di sektor industri seperti Elektronik, otomotif, tekstil garmen, swalayan dan perbankan serta farmasi.

Banyaknya PHK tersebut bukan hanya meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan namun juga berdampak pada berkurangnya anggota serikat serta menambah kesibukan bagi federasi dalam mengadvokasi kasusnya.

Sisi lain, keenggenan Jokowi memenuhi tuntutan kaum buruh agar PP 78 dicabut, membuat daya beli buruh dan masyarakat semakin anjlok. Upah yang dibatasi dan dibarengi kenaikan harga listrik diatas 130%, membuat pendapatan buruh lebih kecil dari pengeluaran yang ada sehingga menjadi aneh jika seseorang bekerja namun masih tetap miskin.

Satu sisi perundingan perundingan kenaikan upah di level perusahaan juga tidak memberikan kabar yang terlalu menggembirakan, dengan alasan keuntungan perushaan sedang turun. Bahkan bukan memberikan peningkatan kesejahteraan, manajemen malah melakukan phk dengan alasan efisiensi di beberapa perusahaan.

Ketika para buruh dan juga rakyat kecil mengalamai kesusahan hidup berjibaku keluar dari kesulitan keuangan, pada saat yang sama kekayaan para konglemarat terus bertambah yang diperoleh dengan membayar upah murah pada buruhnya.

Uang yang berputar di Indonesia sebagian besar hanya dinikmati oleh segelintit kelompok saja, termasuk penguasaan lahan, lebih dari 90% lahan dikuasai oleh swasta. Dan ironisnya bukan hanya buruhnya yang miskin, negara juga mengalami defisit anggaran untuk membiayai program dan bahkan menggaji aparatur negara. Padahal Indonesia adalah pengekspor sawit terbesar hampir 47% dari produksi dunia. Kita juga adalah penghasil tambang emas, gas, batubara dan pulp serta agro lainnya.

Ironisnya, Pajak yang masuk di 2017 hanya sekitar 1150 Triliun atau hanya sekitar 10% dari uang yang beredar. Yang artinya negara hanya menguasai 10% uang yang beredar di Indonesia jauh dibawah persentase Tax Ratio negara Asean 12-14% apalagi dibandingkan dengan swedia, Finland, Denmark dan sebagian negera Timur Tengah yang mencapai 40%.

Defisit anggaran pemerintah adalah simbol dari kegagalan pemerintah dan ketidakberanian pemerintah dalam mengendalikan korporasi /investor. Pemerintah gagal dalam melakukan Re-Distribusi kekayaan/pendapatan korporasi ke negara melalui pajak dan ke buruh melalui upah. Yang kemudian negara harus berhutang ke Singapura, Jepang, Cina dan negara lainnya. Dan saat ini hutang luar negeri pemerintah sudah lebih tinggi dari swasta dikisaran 4000 triliun.

Lahirya Perpres 20 tentang TKA dan juga permenaker 16 dan 35 sebagai syarat masuknya utang dan investasi China ke Indonesia yang menghilangkan syarat bisa berbahasa Inggris, syarat rasio 1:10 serta IMTA juga menandakan bukan hanya pemerintah telah kehilangan wibawa dan kedaulatan.

Menyikapi hal diatas, tentunya membuat kita perlu kerja ekstra dan smart. Kita harus bisa menyelesaikan permasalahan permasalahan internal, harus bisa mengkonsolidasikan internal dan membangun kemandirian internal dan kaderisasi agar kita kuat dan mampu wujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan.

Namun di sisi lain, kita harus terus berjuang dan bergerak menghentikan kerakusan dan hegermoni korporasi.

Buruh bukan hanya harus menjadi garda terdepan dalam mengakhiri kerakusan dan penjajahan korporasi. Kita juga harus mencari alternatif sistem ekonomi politik untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan kaum buruh dan umat manusia.

Pileg dan pilpres 2019, kaum buruh tidak boleh jadi penonton dan menjadi objek saja. kaum buruh harus terlibat untuk kepentingan dan perubahan bagi kaum buruh melalui kontrak politik yang ditanda tangani oleh capres untuk mencabut PP 78, membatalkan Perpes 20, merevisi PP 45 Tentang pensiun, menghentikan perbudakan berkedok pemaganan, memberikan perlindungan bagi para honorer dan driver online. Serta memberikan kesehatan, perumahan dan pendidikan murah atau gratis.

Semoga Rakernas kali ini akan menghasilkan berbagai keputusan penting bagi kaum buruh dan rakyat dan KSPI khususnya.