Gresik, KPonline – Sebagai institusi atau sebuah badan yang di tunjuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial, BPJS kini di nilai sering melakukan sebuah tindakan yang kurang adil kepada pesertanya, khususnya pada segmen kepesertaan pekerja/buruh.
Padahal dalam segmen Pekerja Penerima Upah (PPU), pekerja/buruh salah satu penyumbang terbesar kepesertaan BPJS hingga saat ini. Namun hal tersebut bertolak belakang dengan pelayanan yang diberikan BPJS selaku pihak penyelenggara, diskriminasi terutama terjadi di BPJS Kesehatan.
Pekerja/buruh lebih terasa di rugikan BPJS, khususnya saat pekerja tersebut mengalami perselisihan dengan pihak Badan Usaha (BU)/Pemberi Kerja. Banyaknya kasus di lapangan membuktikan di non aktifkannya kepesertaan PPU secara sepihak oleh BPJS, meskipun tanpa eviden yang jelas dengan hanya berdasarkan pengajuan dari pihak BU/Pemberi Kerja. Entah itu karena perusahaan menunggak, pekerja dilaporkan resign/kontrak habis di aplikasi E-dabu, atau lainnya. Hal ini membuat pekerja/buruh bahkan anggota keluarganya, yang membutuhkan pelayanan medis, sering di hadapkan pada posisi yang sulit.
Bagaimana tidak, mau berobat menggunakan BPJS tapi kepesertaan non aktif, mau pindah ke segmen mandiri/bukan pekerja juga tidak bisa sebab statusnya masih terdaftar peserta PPU. Adapun pekerja yang belum ter PHK, harus menunggu putusan pengadilan hubungan industrial (PHI) sampai incraht (berkekuatan hukum tetap) yang membutuhkan waktu sangat lama dan bertele-tele.
Sedangkan pada saat itu peserta sudah harus benar-benar mendapatkan pelayanan medis, yang pada akhirnya peserta masuk ke rumah sakit sebagai pasien umum dan bayar sendiri. Lantas yang jadi pertanyaannya, apakah itu adil bagi peserta? Tentu saja tidak!
Jika memperhatikan regulasi yang ada, pekerja/buruh tidak semestinya mendapatkan perlakuan seperti itu dari BPJS, karena negara melalui produk hukumnya melindungi pekerja dengan tetap berhak jaminan kesehatan selagi proses PHK belum ada keputusan.
Salah satu regulasinya adalah, di dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13 No. 2003 Tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan “selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.”
Dalam ayat (3) pun menyebutkan “pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.”
(hak-hak lainnya dalam ayat tersebut juga mencakup jaminan kesehatan/BPJS para pekerja)
Regulasi yang seharusnya menjadi jaring pengaman untuk buruh mendapatkan hak-haknya seperti di tulis di atas, nampaknya belum cukup untuk menjadikan pekerja/buruh berada di zona aman dalam mendapatkan hak-haknya.
Nuruddin Hidayat selaku sekretaris Jamkeswatch Jawa Timur di wawancarai KPOnline dalam rapat rutin wilayah Jamkeswatch Jatim di Gresik (Sabtu, 07/03) mengatakan bahwa, pekerja/buruh adalah pihak yang paling di rugikan ketika timbul permasalahan antar kedua pihak itu, yaitu BU/Pemberi Kerja dengan BPJS.
“Tau apa pekerja/buruh soal iuran BPJS? Karena yang wajib membayar dan memotong upah pekerja untuk bayar iuran BPJS sesuai regulasi kan pihak BU? Dan pihak yang menagih jika BU menunggak atau telat membayar adalah tugas BPJS! Tapi kenapa kok pihak pekerja yang sering kena imbas dari permasalahan mereka, kan gak fair, ujungnya kepesertaan BPJS mereka pun di nonaktifkan.” Ujar Nuruddin.
Pria asli kelahiran Sidoarjo ini pun menambahkan contoh kasus ketidak adilan BPJS yang lainnya, bahwa saat ini ada perusahaan yang telah di putus pailit di Surabaya, dan jika menurut regulasi Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) huruf c Perpres No. 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan, kepesertaan BPJS para pekerja di perusahaan tersebut harusnya otomatis aktif selama 6 (enam) bulan tanpa membayar iuran, namun ternyata implementasi di lapangan justru di persulit oleh BPJS sendiri.
“Ada satu contoh kasus lagi di Surabaya yang bikin saya geram, para pekerja di PT. DCP. Perusahaan yang sudah terang-terangan di putus pailit oleh PN Surabaya per 28 Februari 2020 kemarin, kepesertaan BPJS para pekerja hingga saat ini masih juga belum aktif.” Sesalnya.
Padahal secara lisan bahkan tertulis, pihaknya sudah menyampaikan informasi kepada BPJS, bahwa BU tersebut telah di putus pailit, dan sesuai regulasi yang ada, BPJS seharusnya mengaktifkan kembali kepesertaan mereka selama 6 bulan kedepan.
Hingga saat ini, perbaikan tata kelola BPJS, baik BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan/BP Jamsostek pastinya akan terus di upayakan oleh berbagai pihak termasuk oleh kaum pekerja/buruh. Harapannya seluruh pihak yang terlibat saat ada permasalahan, tidak ada lagi yang di rugikan, hingga tercipta sebuah keadilan dan kesejahteraan sosial yang di dambakan seluruh peserta BPJS.
Bobby – Surabaya