Refleksi 20 Tahun Kematian Munir

Refleksi 20 Tahun Kematian Munir
September Hitam

Dua puluh tahun telah berlalu sejak kepergian Munir Said Thalib, seorang pejuang hak asasi manusia yang gigih melawan ketidakadilan dan penindasan. Kematian tragis Munir dalam penerbangan menuju Amsterdam pada 7 September 2004 meninggalkan luka mendalam bagi banyak pihak, termasuk kaum buruh yang terus merasakan penindasan sistemik dalam berbagai bentuk.

Munir tidak hanya memperjuangkan kebebasan berekspresi dan hak-hak sipil, tetapi juga menuntut keadilan bagi semua rakyat yang tertindas, termasuk kaum buruh.

Bagi saya, kematian Munir bukan sekadar kehilangan satu suara penting dalam advokasi hak asasi manusia, tetapi juga pengingat betapa rapuhnya perlindungan bagi mereka yang berani melawan ketidakadilan. Munir bukan hanya membela aktivis dan kelompok minoritas, tetapi juga mereka yang bekerja keras setiap hari, yang suaranya seringkali tenggelam oleh kebijakan yang pro-kapital.

Dalam perjuangannya, Munir sering kali berdiri di garis depan untuk menentang kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat kecil. Dia menentang segala bentuk represi, termasuk yang dilakukan oleh aparat negara terhadap buruh yang berjuang menuntut hak-haknya. Munir adalah simbol perlawanan bahwa perjuangan hak asasi manusia tidak mengenal batas sektor, kelas, maupun status sosial. Ketika Munir memperjuangkan kebebasan sipil, ia juga memperjuangkan kebebasan buruh dari eksploitasi.

Namun hingga hari ini, pelaku pembunuhan Munir belum diadili dengan tuntas. Hal ini bukan hanya cerminan dari sistem hukum yang mandek, tetapi juga menunjukkan betapa lemahnya negara dalam melindungi warganya, terutama mereka yang berani melawan arus. Kegagalan negara untuk mengungkap kebenaran dalam kasus Munir mengirimkan pesan yang kuat: jika seorang tokoh seberani dan sebesar Munir bisa dibungkam tanpa keadilan, bagaimana nasib orang-orang biasa, yang kerap kali berhadapan dengan pengusaha dan negara yang memiliki kekuatan besar?

Keadilan yang Tak Kunjung Ditegakkan

Dua puluh tahun berlalu, namun pertanyaan yang sama masih menggantung: kapan keadilan untuk Munir ditegakkan? Janji demi janji telah dilontarkan oleh pemerintah, tetapi hingga hari ini, janji itu tetap kosong. Ketidakmampuan negara untuk menuntaskan kasus ini menggarisbawahi betapa rentannya posisi buruh dan rakyat kecil dalam sistem hukum yang sering kali berpihak pada yang kuat. Munir adalah simbol bahwa suara perlawanan dapat dibungkam dengan mudah. Jika keadilan untuk Munir saja tidak dapat ditegakkan, apa yang bisa diharapkan oleh buruh yang terus berjuang melawan kebijakan yang menindas?

Buruh sering kali berada di bawah tekanan, baik dari perusahaan maupun negara. Di tengah kondisi ketenagakerjaan yang semakin tidak pasti, dengan meningkatnya fleksibilitas tenaga kerja dan lemahnya perlindungan bagi pekerja, kasus Munir adalah pengingat bahwa perlawanan buruh terhadap ketidakadilan masih jauh dari selesai. Kematian Munir tidak boleh dilupakan, karena itu adalah bagian dari sejarah panjang perlawanan rakyat kecil melawan ketidakadilan.

Kita sebagai kaum buruh harus belajar dari perjuangan Munir. Ia tidak takut melawan kekuatan yang jauh lebih besar dari dirinya, meskipun risiko yang dihadapi sangat besar. Ini adalah contoh bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan harus terus dilanjutkan, terlepas dari segala rintangan. Munir mengajarkan bahwa hak-hak tidak diberikan begitu saja; mereka harus diperjuangkan dengan tekad dan keberanian.

Namun, pelajaran terbesar dari kasus Munir adalah bahwa perjuangan tidak boleh berhenti pada satu sosok. Perjuangan Munir adalah perjuangan kita semua. Kita tidak bisa hanya menunggu keadilan datang dari atas; kita harus terus mendesak, berjuang, dan bersuara. Kematian Munir seharusnya menjadi titik awal bagi kita untuk terus memperjuangkan keadilan, baik untuk dirinya maupun untuk seluruh rakyat tertindas.

Kematian Munir bukanlah akhir. Perjuangannya terus hidup dalam setiap langkah perlawanan kaum buruh yang menuntut keadilan di tempat kerja dan dalam kehidupan sehari-hari. Keadilan untuk Munir adalah keadilan untuk semua rakyat tertindas. Dua dekade telah berlalu, dan kaum buruh menuntut agar janji yang pernah diucapkan untuk menuntaskan kasus ini segera dipenuhi. Kegagalan negara dalam menuntaskan kasus Munir adalah cerminan lemahnya komitmen pemerintah dalam melindungi hak asasi manusia dan hak-hak buruh.

Kami menyerukan agar pemerintah segera menuntaskan kasus Munir, bukan hanya sebagai bentuk keadilan bagi dirinya dan keluarganya, tetapi juga sebagai simbol bahwa negara ini masih menghargai hak dan martabat warganya. Kematian Munir adalah pengingat bahwa perjuangan untuk keadilan masih jauh dari selesai. Perjuangannya terus menjadi inspirasi bagi kita semua untuk melawan ketidakadilan yang masih ada di depan mata.

Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden FSPMI, Wakil Presiden KSPI, dan Pinred Media Perdjoeangan