Jakarta, KPonline – Turunnya daya beli diakui sejumlah pihak. Sejak beberapa waktu lalu, KSPI sudah melancarkan krtitik, bahwa yang saat ini dibutuhkan adalah darurat PHK akibat turunnya daya beli. Tak mau ketinggalan, kalangan pengusaha pun mengatakan hal serupa.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Tutum Rahanta mengatakan, pertumbuhan ritel pada semester I tahun 2017 hanya di angka 3,7%. Padahal tahun lalu, semester I angka pertumbuhan sektor ritel mencapai kisaran 11,1%.
Berdasarkan fakta itu, bukan tidak mungkin industri ritel di semester II akan melorot tajam. Karena faktor pendorong pertumbuhan industri ritel ada di semester pertama, yaitu momentum puasa, lebaran, dan liburan sekolah.
Menurut Tutum, kondisi ini terjadi karena daya beli memang menurun, akibat masyarakat rata-rata tidak memilih saving. Hal itu dipicu sektor pendapatan masyarakat memang menurun.
Senada dengan Tatum, Sekretaris Umum BPP Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat (Jabar) Martin mengaku, ritel selama ini menjadi ujung tombak penjualan produk industri. Sehingga turunnya daya beli masyarakat, akan berdampak terhadap industri yang mayoritas padat karya.
“Bila produk di ritel tidak terjual, dampaknya manufaktur pun ikut goyah. Imbasnya, operasional industri mandek. Akibat terburuk, setop produksi dan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) pun tidak terhindarkan,” ungkapnya di Bandung sebagaimana dikutip Sindonews.com, Rabu (26/7/2017).
Terhadap kondisi ini, kalangan pengusaha kembali menyandera Pemerintah. Mereka membangun logika, bahwa pertumbuhan sektor ritel semester II dapat naik dari semester I, dengan syarat ada intervensi pemerintah. Semacam kemudahan dan berbagai fasilitas yang diberikan terhadap industri ritel. Salah satunya dengan menerapkan upah padat karya di sektor industri garmen.
Terhadap hal itu kalangan buruh mengingatkan semua pihak, bahwa kesulitan ekonomi ini juga dirasakan oleh kaum buruh dan segenap rakyat kecil yang lain. Bukan hanya kalangan pengusaha yang terpukul. Saat ini kebanyakan masyarakat tidak mempunyai cukup uang untuk berbelanja kebutuhan hidupnya. Terlebih lagi setelah adanya pukulan telak terhadap ekonomi mereka, berupa pencabutan subdisi listrik yang berdampak naiknya harga listrik, hingga kebijakan upah padat karya yang justru membuat daya beli semakin terpuruk.
Seorang kawan mengatakan, dalam situasi yang memburuk ini, tega-teganya mereka mengorbankan rakyat kecil demi untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Atas dasar pernyataan itulah saya merumuskan dalam sebuah pertanyaan. Saat daya beli anjlok, kalian masih saja tega cari untung sendiri? Bahkan setelah kalian nikmati sendirian pertumbuhan ekonomi, masih saja tidak mau berbagi.
Maka solusi yang diambil tidak bisa dari satu sisi. Apalagi jika kemudian dijadikan pembenar untuk memberikan upah murah dengan dalih diskresi dan melakukan PHK dengan untuk menyelamatkan sebagian yang lain. Jika seperti ini, penyelamatan macam apa yang akan dilakukan?
Dalam hal ini, kita mendukung langkah yang dilakukan KSPI agar Pemerintah fokus pada permasalahan. Seperti halnya yang diakui sendiri oleh kalangan pengusaha, masalahnya adalah daya beli yang menurun. Maka selesaikanlah masalah tersebut. Jangan membuat masalah baru, misalnya dengan kebijakan upah murah dan mempermudah terjadinya PHK.
Percayalah, jika upah murah dan PHK diterapkan, maka daya beli akan terjun bebas. Anjlok. Akibatnya semua pihak rugi. Tak ada yang selamat lagi.
Sekali lagi, jangan cari untung sendiri dalam situasi yang sulit ini. Terlebih lagi dengan medeskreditkan atau menyingkirkan peran yang lain.
Jadi kalau pengusaha meminta pemerintah melakukan intervensi, maka harus dibaca, bentuknya adalah sebuah langkah konkret untuk menumbuhkan daya beli. Misalnya dengan mengembalikan subdisi untuk sektor-sektor yang berkaitan dengan kebutuhan rakyat, mencabut kebijakan upah sektor padat karya, dan mencabut Perppu Ormas agar masyarakat tidak dalam kungkungan ketakutan untuk menyampaikan ide, gagasan, dan kritik terbaiknya untuk perbaikan negeri ini.
Karena itulah, saat kondisi daya beli anjlok seperti ini, saya sepakat jika solusinya adalah darurat PHK. Dengan memastikan setiap orang masih bekerja dan mendapatkan upah yang layak, maka ancaman daya beli optimis bisa diperbaiki. PHK yang merajalela, pengangguran yang meningkat, akan menjadi bahan bakar terjadinya hal-hal yang kontraproduktif terhadap mewujudnya keadilan sosial.