Salah Kaprah Kebijakan Upah

Salah Kaprah Kebijakan Upah

Jakarta, KPonline – Nilai upah merupakan hal penting bagi negara guna mengundang investor asing dan mendorong peningkatan usaha investor domestik. Nilai upah yang rendah membuat beban produksi menjadi rendah pula, khususnya di sektor industri manufaktur. Ketika upah rendah, maka nilai harga barang akan bersaing dan pendapatan perusahaan akan meningkat.

Reformasi sudah berjalan 18 tahun, namun upah rendah masih menjadi persoalan bagi para buruh di Indonesia. Indikasi sekaligus akibat dari upah rendah adalah tidak habisnya aksi-aksi gerakan buruh dalam memperjuangkan upah yang layak bagi penghidupan. Aksi tersebut merupakan konsekuensi logis dari kondisi kesejahteraan minim yang dialami buruh.

Seperti aksi-aksi yang dilakukan oleh gerakan buruh belakang ini. Para buruh melakukan unjuk rasa di Banten, Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, dan daerah lainnya. Para buruh menolak kenaikan upah minimum tahun 2017 hanya sebesar 8.25% dengan menggunakan formulasi Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan (PP 78/2015).

Tentunya aksi-aksi gerakan buruh membuat tidak nyaman kalangan pengusaha dan pemerintahan. Pasalnya, bagi pengusaha, kegiatan produksi terhambat dan bagi pemerintah, mencerminkan keberpihakan nyata kepada para pengusaha. Karena itu, perlu adanya jalan tengah guna mendamaikan konflik kepentingan tersebut.

Sebenarnya, dengan tidak menggunakan PP 78/2015, mekanisme penetapan upah cukup demokratis. Merujuk pada Keputusan Presiden nomor 107 tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan, penentuan nilai upah minimum didasarkan atas saran dan pertimbangan Dewan Pengupahan yang terdiri dari perwakilan pemerintah, pengusaha, dan buruh. Namun, formula penetapan upah berdasarkan PP 78/2015 menghilangkan substansi fungsional dari Dewan Pengupahan. Hal tersebut karena kenaikan upah didasarkan atas formula: UMn = UMt + {UMt x (Inflasit + % Δ PDBt)}. Di sisi lain, PP 78/2015 juga bertentangan dengan Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 88 Ayat (4) dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 13 tahun 2012 dimana penetapan upah harus berdasarkan survei Kebutuhan Hidup Layak sejumlah 60 item. Dalam hukum perburuhan internasional, PP 78/2015 juga bertentangan dengan Konvensi ILO nomor 98 tentang Hak Organisasi dan Hak Berunding Bersama.

Rendahnya upah minimum tahun 2017 bertentangan dengan semangat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di tahun 2017, setidaknya upah minimum naik di angka Rp. 650.000 dengan formulasi: UMK/UMP Tahun 2017 = KHL + (KHL x Target Inflasi Nasional Tahun 2017) + (KHL x Pertumbuhan Ekonomi Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota). Upah buruh yang murah niscaya akan meningkatkan kesenjangan ekonomi karena kebutuhan ekonomi terus meningkat.

Sebaliknya, upah buruh yang layak akan meningkatkan daya beli masyarakat yang tentu saja akan berimpilkasi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional/daerah. Dengan meningkatnya daya beli, hasil produksi pun akan terserap, dan ekonomi akan bergerak. Sebagaimana tercatat pada Produk Domestik Bruto (PDB) 2015 (menurut pengeluaran) dimana Konsumsi Rumah Tangga membentuk 55.92% PDB. Namun, jika upah rendah, maka konsekuensinya adalah daya beli akan menurun dan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional/daerah.

Berdasarkan data, kecenderungan upah rata-rata di ASEAN bagi Indonesia sebesar USD 174. Upah rata-rata Indonesia jauh tertinggal dengan Vietnam (USD 181), Filipina (USD 206), Thailand (USD 357), dan Malaysia (USD 609) (Sumber: Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia 2014 – 2015). Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa upah buruh Indonesia terbilang murah di antara negara ASEAN lainnya.

Pemerintah dan pengusaha selalu berdalih bahwa permintaan upah buruh tinggi berbanding terbalik dengan tingkat produktivitas buruh Indonesia. Nyatanya, pertumbuhan produktivitas per kapita mengalami kenaikan pada tahun 2015 di angka Rp. 268 juta dibanding 2014 di angka Rp. 253.8 juta per pekerja. Sayangnya, meningkatnya produktivitas pekerja Indonesia tidak dihargai oleh pemerintah, yang ada justru diberikan PP 78/2015 yang membatasi kenaikan upah hanya berdasar pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, upah buruh Indonesia selalu tertinggal dengan negara-negara ASEAN lainnya seperti Vietnam, Filipina, Thailand, dan Malaysia.

Upah buruh murah Indonesia merupakan solusi pemerintah guna mengundang investor asing. Pasalnya, realisasi investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/ FDI) Indonesia mengalami penrurunan di sektor primer dan sekunder. Di sektor primer tahun 2014 realisasi FDI sebesar US$ 6.991,3 juta kemudian menuruh di tahun 2015 menjadi US$ 6.236,4 juta. Di sektor sekunder, pada tahun 2014 sebesar US$ 13.019,3 menjadi US$ 11.763,1 juta di tahun 2015 (BKPM, 2016). Dengan membuat upah buruh murah, pemerintah sama saja mengorbankan kesejahteraan buruhnya demi ambisi ekonominya.

Padahal, dalam upaya mengundang minat investasi, upah buruh murah bukan merupakan satu-satunya jawaban. Sebagai misal Filipina, upah buruh Filipina lebih besar dibanding Indonesia, namun realisasi FDI mengalami peningkatan. Pada tahun 2014, realisasi FDI Filipina sejumlah US$ 5.739,57 juta, kemudian pada tahun 2015 meningkat menjadi US$ 5.835,26 juta (Bangko Sentral Ng Pilipinas, 2015). Filipina membuktikan bahwa upah buruh tinggi bukan persoalan bagi investor asing.

Lain halnya dengannya Indonesia, politik upah murah sebagai siasat meningkatkan FDI pun jauh dari harapan. Dengan adanya PP 78/2015, nampak penurunan rata-rata upah manufaktur di Indonesia dari tahun 2015 yang sebsear Rp. 2.177,4 juta menjadi Rp. 2.030,8 juta di tahun 2016 (Trading Economics 2016). Penurunan upah tersebut tidak memiliki korespondensi dengan meningkatnya investasi, justru yang ada adalah penurunan, sebagaimana tercatat bahwa komitmen investasi kuartal I 2016 yang sebesar Rp. 96,1 triliun lebih rendah dibanding komitmen investasi kuartal IV 2015 yang senilai Rp. 99,2 triliun (BKPM, dalam Bhima Y., INDEF).

Pemerintah lupa bahwa produktivitas dan upah buruh bukan merupakan persoalan utama bagi investor. Dalam Forum Ekonomi Dunia, tercatat bahwa aspek tenaga kerja menempati posisi ke 7 sebagai faktor persoalan menjalankan bisnis di Indonesia, persoalan 1 sampai 6 yang menyebabkan minimnya minat investor di Indonesia adalah korupsi, birokrasi pemerintahan, sarana infrastruktur, akses permodalan, inflasi, dan instabilitas kebijakan (World Economic Forum 2016). Sehingga cukup jelas bahwa buruh adalah pihak yang selalu dikambing-hitamkan oleh pemerintah. Padahal, problemnya adalah ketidakbecusan pemerintahan itu sendiri dalam meningkatkan kompetisi ekonominya diluar aspek perburuhan tersebut.

Sudah saatnya pemerintah keluar dari logika inferior dihdapan investor asing dengan mengorbankan kesejahteraan buruhnya. Sudah saatnya pemerintah mengevaluasi diri bahwa kompetisi ekonomi yang bobrok adalah akibat ulah ketidakbecusan mereka sendiri. Sudah saatnya pemerintah berpandangan bahwa meningkatkan upah buruh adalah jawaban pertumbuhan ekonomi. Sudah saatnya pemerintah mencabut PP 78/2015 yang jelas-jelas tidak koresponden dengan pertumbuhan ekonomi, daya saing, dan meningkatkan investasi asing.

Sudah, saatnya. (*)

Irvan Tengku Harja, Penulis adalah staff Bidang Riset KSPI.