Salah Kaprah Kebijakan Upah

Direktur Departemen Pengupahan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang juga Tim Pengupahan KSPI, Mujito, secara tegas mengkritik pemerintah yang masih bersikukuh menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 sebagai dasar penetapan upah minimum tahun 2025. Menurut Mujito, penggunaan formula yang sama seperti pada tahun 2024 justru memperburuk ketidakadilan dalam penyesuaian upah minimum, terutama bagi daerah-daerah yang tidak mendapatkan penyesuaian sesuai dengan inflasi. Kebijakan ini dianggap mengabaikan kesejahteraan buruh dan bahkan mengorbankan daya beli mereka.

Mujito menjelaskan bahwa pada tahun 2024, terdapat enam provinsi dan sekitar 210 kabupaten/kota yang tidak mendapatkan penyesuaian upah sesuai dengan inflasi. Hal ini disebabkan oleh dua rumusan dalam PP 51, yaitu penyesuaian upah yang didasarkan pada inflasi ditambah dengan variabel Produktivitas Ekonomi (PE) dikalikan indeks tertentu. Namun, formula tersebut tidak memperhitungkan secara tepat variabel konsumsi per kapita yang digunakan sebagai salah satu dasar penetapan upah. Akibatnya, banyak daerah tidak mendapatkan penyesuaian yang memadai, sehingga daya beli buruh di daerah tersebut semakin terpuruk.

Mujito menyoroti kelemahan mendasar dalam formula yang digunakan oleh PP 51, terutama terkait penggunaan variabel konsumsi per kapita. Menurutnya, penggunaan konsumsi per kapita tidak merefleksikan kebutuhan riil pekerja di berbagai daerah. Sebagai contoh, Mujito menyebutkan bahwa konsumsi per kapita di Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi memiliki selisih yang signifikan, padahal keduanya terletak berdampingan. Kota Bekasi memiliki konsumsi per kapita yang jauh lebih tinggi daripada Kabupaten Bekasi, karena wilayah kota cenderung lebih urban dengan kebutuhan hidup yang lebih besar. Kondisi ini menyebabkan perbedaan signifikan dalam penetapan upah, padahal harga kebutuhan pokok di kedua wilayah tersebut hampir sama.

Lebih lanjut, Mujito juga mengkritik ketidakadilan yang terjadi di beberapa daerah akibat penerapan PP 51. Ia memberikan contoh perbedaan upah antara Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi yang semakin melebar sejak diberlakukannya PP 51. Pada tahun 2023, perbedaan upah antara kedua wilayah ini hanya sekitar Rp20.000. Namun, pada tahun 2024, selisih ini meningkat menjadi Rp100.000. Menurutnya, jika kebijakan ini terus dipertahankan, kesenjangan upah antara kota dan kabupaten akan semakin membesar, yang pada akhirnya akan memperlebar jurang ketidakadilan antar wilayah.

Mujito menjelaskan pentingnya kenaikan upah yang sejalan atau bahkan melebihi inflasi. Menurutnya, untuk menjaga daya beli pekerja, penyesuaian upah minimal harus sama dengan tingkat inflasi. “Jika penyesuaian upah berada di bawah inflasi, itu artinya daya beli buruh tidak dijaga,” tegas Mujito. Dia mengingatkan bahwa daya beli yang turun akan berdampak pada penurunan kualitas hidup buruh, karena harga kebutuhan pokok yang terus naik tidak diimbangi dengan peningkatan upah.

Pemerintah sendiri telah mengakui bahwa salah satu tujuan utama dari kebijakan pengupahan adalah menjaga daya beli buruh. Dalam Permenaker Nomor 18 Tahun 2022, pemerintah menekankan tiga isu utama terkait upah: standar hidup layak, daya beli, dan disparitas upah antar daerah. Namun, Mujito menilai bahwa PP 51 tidak menjawab masalah daya beli, karena penyesuaian upah yang dihasilkan dari PP 51 justru berada di bawah tingkat inflasi di banyak daerah.

Mujito juga menyoroti data yang menunjukkan bahwa pada tahun 2024, kenaikan upah yang didasarkan pada PP 51 cenderung di bawah inflasi. Hal ini terjadi di berbagai daerah, termasuk provinsi-provinsi besar seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah, di mana banyak kabupaten/kota tidak mendapatkan penyesuaian yang layak. Dampak dari kebijakan ini adalah menurunnya kemampuan buruh untuk membeli barang-barang pokok, yang pada akhirnya akan melemahkan ekonomi lokal.

Salah satu narasi yang sering disampaikan oleh pemerintah dan pengusaha adalah bahwa kenaikan upah yang terlalu tinggi akan menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran. Namun, Mujito dengan tegas menyatakan bahwa narasi tersebut adalah propaganda yang tidak berdasar. Ia mengungkapkan bahwa data dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta temuan lapangan menunjukkan bahwa upah minimum bukanlah penyebab utama terjadinya PHK.

Sebagai anggota Dewan Pengupahan Kabupaten Bekasi, Mujito menyatakan bahwa kenaikan upah justru menjadi daya tarik bagi pekerja untuk datang ke wilayah tersebut. Menurutnya, upah minimum yang lebih tinggi di daerah seperti Bekasi dan Karawang menarik minat pekerja, dan bukan sebaliknya.

“Upah tinggi bukan penyebab PHK, tapi justru menarik pekerja untuk datang,” tegas Mujito. Hal ini bertentangan dengan narasi yang dibangun oleh pemerintah dan Apindo, yang kerap menggunakan isu PHK untuk menekan tuntutan kenaikan upah.

Disparitas upah antar daerah menjadi salah satu masalah terbesar dalam sistem pengupahan di Indonesia. Mujito menjelaskan bahwa ketidakadilan dalam penetapan upah ini tidak hanya terjadi antar provinsi, tetapi juga antar kota dan kabupaten di dalam satu wilayah. Sebagai contoh, upah di Kota Bekasi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Bekasi, meskipun jarak kedua wilayah ini sangat dekat. Disparitas ini diperparah oleh kebijakan PP 51 yang tidak mampu menjawab permasalahan tersebut.

Menurut Mujito, salah satu cara untuk mengatasi masalah disparitas upah adalah dengan memperbaiki formula penetapan upah minimum. Ia mengusulkan agar indeks penyesuaian upah didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL), bukan hanya konsumsi per kapita. Dengan demikian, penetapan upah akan lebih mencerminkan kebutuhan riil pekerja di berbagai daerah dan dapat membantu mengurangi kesenjangan upah.

Mujito juga menyoroti dampak negatif dari penghapusan Upah Minimum Sektoral (UMSK) yang dilakukan oleh pemerintah melalui Omnibus Law (UU Cipta Kerja). Menurutnya, penghapusan UMSK telah memberikan celah bagi pengusaha untuk menetapkan upah yang lebih rendah, bahkan di sektor-sektor industri yang sebelumnya memiliki kemampuan finansial yang cukup. Banyak perusahaan besar yang dulu menggunakan UMSK, kini beralih menggunakan UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota), yang jelas lebih rendah.

Mujito menjelaskan bahwa penghapusan UMSK telah merugikan pekerja di berbagai sektor industri, termasuk industri besar seperti otomotif, manufaktur, dan elektronik. Perusahaan-perusahaan besar ini, yang seharusnya mampu membayar upah lebih tinggi, memanfaatkan celah regulasi untuk menekan biaya tenaga kerja. Dampaknya, banyak pekerja yang kehilangan kesempatan mendapatkan upah yang layak sesuai dengan sektor tempat mereka bekerja.

Menurut Mujito, jika pemerintah serius ingin memperbaiki sistem pengupahan, maka harus ada pedoman yang jelas terkait upah di atas upah minimum, termasuk kriteria bagi perusahaan yang wajib membayar lebih dari UMK. Pemerintah juga perlu membuat regulasi yang jelas agar negosiasi bipartit antara pekerja dan pengusaha dapat dilakukan secara adil dan transparan.

Mujito dengan tegas menyatakan bahwa PP 51 tidak mampu menjawab permasalahan utama dalam sistem pengupahan di Indonesia. Kebijakan ini gagal menjaga daya beli buruh dan memperparah disparitas upah antar daerah. Jika kebijakan ini terus dipertahankan, maka kesenjangan upah akan semakin lebar, sementara buruh akan semakin terpuruk dalam kondisi ekonomi yang sulit.

Oleh karena itu, Mujito mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi PP 51 dan mencari alternatif yang lebih adil dan inklusif. Penetapan upah minimum harus didasarkan pada KHL dan disesuaikan dengan inflasi untuk menjaga daya beli buruh. Selain itu, pemerintah harus menciptakan regulasi yang jelas terkait upah di atas upah minimum, sehingga pekerja di sektor-sektor industri unggulan dapat memperoleh upah yang layak.

Dengan kebijakan yang lebih adil dan transparan, Mujito yakin bahwa kesejahteraan buruh di Indonesia dapat ditingkatkan, dan ketidakadilan dalam sistem pengupahan dapat diperbaiki. “Sudah saatnya pemerintah benar-benar berpihak pada buruh dan bukan hanya pada kepentingan pengusaha,” tegasnya.