Jakarta, KPonline – Mari kita mengalihkan perhatian ke PT Mugai Indonesia. Dalam beberapa hari ini, ratusan buruh Karawang melakukan aksi di perusahaan itu. Sebagai bentuk solidaritas terhadap para buruh yang bekerja di sana.
Aksi solidaritas ini dilakukan untuk menjawab tindakan pihak pengusaha yang melakukan PHK terhadap 22 orang pekerja. Mereka, para pekerja yang di PHK itu, adalah pengurus dan jajaran PUK SPAMK FSPMI PT Mugai Indonesia.
Serikat Pekerja menilai, PHK terhadap para pekerja dilakukan sebagai “tindakan balasan” yang dilakukan pihak pengusaha terkait dengan aksi mogok kerja pada 9 Januari 2020. Semula, pemogokan akan dilakukan selama seminggu. Tetapi dengan beberapa pertimbangan tertentu, setelah empat hari mogok kerja, para buruh kembali masuk kerja.
Setelah masuk bekerja kembali itulah, para pengurus dan beberapa fungsionaris PUK dipanggil oleh manajemen. Mereka diberi surat PHK. Para pekerja, menganggap PHK ini adalah buntut dari pemogokan yang mereka lakukan.
Padahal, mogok kerja adalah hak dasar pekerja yang dilindungi oleh undang-undang. Ketika buruh melakukan mogok kerja, ia tidak bisa diberi sanksi. Para pekerja pun mengklaim, mereka melakukan mogok kerja secara sah.
Larangan Menghalang-Halangi Pekerja yang Mogok Kerja
Sejak mereka di PHK, setidaknya sudah lima kali aksi solidaritas dilakukan. Tetapi apa yang dituntut para pekerja, belum juga dipenuhi. Nampaknya, aksi demi aksi akan terus dilakukan.
Senin (27/1/2020), aksi solidaritas akan dilanjutkan. Kali ini, rencananya akan berlangsung selama tiga hari berturut-turut. Hingga Rabu (29/1/2020).
Saya kira, apa yang dilakukan oleh pekerja PT Mugai Indonesia; termasuk aksi-aksi solidaritas yang dilakukan sebagai bentuk dukungan, sudah sangat tepat. Ini adalah tentang hak yang melekat dalam diri pekerja. Tak seorang pun boleh mengangkangi hak kita.
Dalam kaitan dengan itu, aksi solidaritas ini adalah sebentuk usaha untuk saling jaga dan saling sapa, untuk memastikan agar peraturan tidak hanya indah ketika dibaca.
Sudah jelas diatur dalam UU Ketenagakerjaan, siapapun tidak boleh menghalang-halangi mogok kerja yang sah, tertib, dan damai; antara lain dengan cara: menjatuhkan hukuman; mengintimidasi dalam bentuk apapun; atau melakukan mutasi yang merugikan.
Tidak hanya itu, dalam beleid itu juga diatur, apabila suatu mogok kerja terlaksana dengan sah, tertib, dan damai; maka siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja tersebut.
Adapun sanksi bila menghalang-halangi mogok kerja yang sah, tertib, dan damai adalah pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 400 juta.
Konvensi ILO Nomor 87 juga menyebut hak mogok. Hak mogok adalah hak fundamental bagi pekerja dan organisasi-organisasi mereka sebagi maksud untuk mempromosikan dan membela kepentingan ekonomi dan sosial para pekerja secara syah.
Andai Sanksi Pidana Tak Ada Lagi
Dari kasus ini kita belajar, apa jadinya jika sanksi pidana bagi pengusaha dihapus. Sebagaimana isu yang santer terdengar dalam RUU Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law).
Sedangkan yang ada sekarang saja, meskipun ada aturan mengenai larangan untuk menghalang-halangi mogok kerja dengan sanksi hingga 4 tahun pidana penjara, tetapi ada saja pengusaha yang memecat buruhnya yang mogok kerja. Kalau sanksi pidana dihapus, tentu para buruh tidak akan berkutik.
Padahal, seperti yang pernah disampaikan Sir Otto Kahn-Freund, “Hukum, tentu saja, memiliki sanksi-sanksinya sendiri, secara administratif, pidana, dan sipil, dan dampak mereka tidak bisa disepelekan, tapi dalam hubungan ketenagakerjaan norma-norma hukum seringkali tidak efektif kecuali mereka didukung oleh sanksi-sanksi sosial juga, yaitu oleh kekuatan pengimbang dari serikat pekerja dan pekerja terorganisir yang ditegaskan melalui konsultansi dan negosiasi dengan pihak majikan dan akhirnya, kalau ini gagal, melalui mogok.”