Jakarta, KPonline – Maret 2017, Indonesia kembali menerima kunjungan Raja Salman dari Arab Saudi setelah 47 tahun silam. Agenda kunjungan Raja dari Negara kaya minyak itu tidak lain adalah untuk menanamkan investasi sebesar 25 Milliar US Dollar pada 11 sector pembangunan di Indonesia. Mendengar kata Arab Saudi, tentunya mengingatkan kita kembali pada begitu banyaknya kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM Buruh Migran Indonesia (BMI), khususnya perempuan.
Tingginya angka Perempuan Buruh Migran (PBM) di Arab Saudi tidak lepas dari peran Indonesia yang “meng-ekspor” warga negaranya untuk mengisi kekosongan pasar kerja dunia sejak 1990an. Dilansir dari data Bank Indonesia (BI), jumlah BMI yang bekerja di Arab Saudi per akhir tahun 2014, sebelum kebijakan penghentian pengiriman, adalah sebanyak 1,01 Juta jiwa. Alasan lain, anggapan persamaan agama dan budaya dengan Indonesia juga menjadi salah satu factor pendorong PBM memilih Arab Saudi sebagai Negara tujuan untuk bekerja. Padahal faktanya, kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran hak yang dialami PBM terjadi karena basis agama dan budaya.
Dilansir dari situs buruhmigran.or.id, berdasarkan catatan penanganan kasus Solidaritas Perempuan (SP) sepanjang satu decade (2008-2016), perempuan yang bekerja di Arab Saudi seluruhnya bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT), satu jenis pekerjaan yang masuk dalam kategori 3D (Dirty, Dangerous, Difficult). Selama satu decade itu pula, SP menangani sebanyak 3 kasus PBM yang pernah mendapat vonis hukuman mati dari pengadilan Arab Saudi, namun akhirnya mendapat pengurangan hukuman menjadi penjara paling lama 10 tahun dan hukuman cambuk paling banyak 1000x.
Dari 3 kasus tersebut, 2 kasus atas nama Sumartini asal Sumbawa dan Warnah asal Karawang, hingga hari ini masih menjalani proses pengadilan terhadap pembelaan dirinya yang dikriminalisasi melakukan sihir terhadap anak majikan. Mereka juga menunggu hak umumnya berupa pemaafan (Grasi) dari Raja untuk dapat bebas dari penjara. Selain itu, 1 kasus pembunuhan terhadap PBM atas nama Nani Suryani asal Karawang, yang dibunuh oleh majikan juga masih belum mendapat kepastian sejak 6 tahun lalu atas tuntutan ahli waris berupa uang diyat.
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) saat ini juga sedang menangani 1 kasus PBM atas nama Rusmini Wati asal Indramayu. Rusmini sebelumnya divonis hukuman pancung karena tuduhan menyihir istri pertama majikan yang sakit-sakitan. Upaya banding yang diajukan oleh KBRI di Arab Saudi, akhirnya membebaskan Rusmini dari eksekusi mati namun diganti menjadi hukuman penjara 12 tahun dan cambuk 1200 kali. Baik Sumartini, Warnah, dan Rusmini mengalami intimidasi dan penyiksaan ketika menjalani proses interogasi di kepolisian dengan tujuan agar mengakui perbuatan yang sebenarnya tidak mereka lakukan.
Selain Sumartini, Warnah dan Rusmini, tentu saja sudah banyak eksekusi mati sebelumnya yang dilakukan Arab Saudi terhadap PBM. Masih jelas dalam ingatan bagaimana Siti Zainab dan Karni yang dipancung pada tahun 2015 karena membunuh majikan untuk membela diri dari siksaan majikan yang bertubi-tubi didapatnya. Indonesia tidak cukup melakukan upaya diplomasi tingkat tinggi (high level diplomacy) pada waktu itu untuk menghentikan eksekusi tersebut. Bahkan eksekusi dilakukan Arab Saudi tanpa pemberitahuan awal kepada pemerintah Indonesia. Kejadian inipun hanya disikapi pemerintah Indonesia dengan menyampaikan surat protes keras terhadap Arab Saudi melalui Duta Besarnya di Indonesia. Persoalan lain yang banyak terjadi adalah pelarangan pulang PBM oleh majikan hingga 19 tahun. SBMI menangani sebanyak 127 kasus antara lain dari Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Alih-alih memperbaiki system perlindungan perempuan buruh migran, Jokowi justru memerintahkan Kementerian Ketenagakerjaan untuk menerbitkan kebijakan penghentian pengiriman buruh migran ke Negara Timur Tengah termasuk Arab Saudi melalui Kepmen No. 260/2015 yang mengatur Penghentian dan Pelarangan Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia Untuk Bekerja Pada Pengguna Perseorangan Ke 19 Negara Timur Tengah. Kebijakan ini dinilai sangat reaktif dan parsial karena tidak menyentuh akar persoalan serta tidak memperhitungkan dampak social dan hukum yang kemungkinan akan ditimbulkan.
Faktanya, pasca implementasi kebijakan, angka kasus perdagangan orang di Arab Saudi meningkat. Data Kementerian Luar Negeri menyebutkan sebanyak 548 kasus pada tahun 2015, meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 326 kasus.2 Salah satu kasus terbaru adalah perdagangan manusia di Kota Qatif, Provinsi Timur Saudi, dengan korban sebanyak 39 WNI. “Ini bukan kasus perdagangan manusia pertama yang berhasil diselamatkan KBRI Riyadh maupun KJRI Jeddah. Trendnya meningkat” kata Atase Hukum KBRI Riyadh, Muhibuddin dalam rilis yang dikeluarkan Kemlu pada 25 Oktober 2015.
Situasi diatas membuktikan bahwa pemberlakuan Kepmen No. 260/2015 tidak tepat sasaran dan justru semakin merentankan perempuan buruh migran terhadap praktek perdagangan manusia dan pelanggaran HAM lainnya. Kepmen ini juga dinilai diskriminatif terhadap perempuan yang jumlahnya mayoritas bekerja pada sektor domestik dibanding laki-laki. Selain menyuburkan praktek perdagangan manusia, kebijakan ini juga berdampak pada peningkatan kasus-kasus pelarangan pulang PBM yang habis sudah masa kontraknya oleh majikan.
“Data penanganan kasus memperlihatkan kasus lainnya yang banyak terjadi di Arab Saudi adalah pelarangan pulang” ungkap Hariyanto, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia pada aksi di Kedubes Arab Saudi dan Istana Negara, hari ini. Padahal dengan jelas dan tegas disebutkan dalam Konstitusi Negara UUD 1945, bahwa setiap warga Negara Indonesia memiliki hak untuk bekerja demi mendapatkan kehidupan dan penghidupan yang layak dan merupakan kewajiban Negara untuk menjamin, memenuhi dan melindungi hak tersebut. Kewajiban Negara untuk menjamin perlindungan hak perempuan yang bekerja melintasi batas Negara juga disebutkan lebih lanjut dalam General Recommendation CEDAW Committee Ke-26 yang dirilis pada 2010.
“Perlindungan terhadap Buruh Migran Indonesia, terutama perempuan tentu saja bukan hanya menjadi tanggung jawab Negara asal tapi juga kewajiban Negara tujuan, dalam hal ini Arab Saudi” ujar Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan pada aksi yang dilakukan di depan Istana Negara 2 Maret 2017. “Terlebih, Arab Saudi sudah menyetujui dengan meratifikasi 5 perjanjian HAM Internasional yang menetapkan bahwa Negara harus menghapus diskriminasi ras dan gender, melindungi hak anak, melarang penyiksaan, dan mencegah serta menghukum pelaku perdagangan manusia” ujarnya lebih lanjut.
Beberapa konvensi internasional yang sudah diratifikasi Arab Saudi antara lain: Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), yang diratifikasi Arab Saudi pada tanggal 7 September 2000; Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD), yang ditandatangani Arab Saudi pada 23 Oktober 1997; Konvensi Hak Anak (CRC), yang ditandatangani pada 26 Januari 1996; Konvensi Melawan Penyiksaan (CAT), yang ditandatangani 23 September 1997; dan Protokol Mencegah, Menghambat, dan Menghukum Perdagangan Manusia, khususnya Terhadap Perempuan dan Anak, Tambahan atas Konvensi PBB Melawan Kejahatan Terorganisir Transnasional, yang ditandatangi Arab Saudi pada 20 Juli 2007
Instrument internasional diatas seharusnya secara otomatis menjadi bagian dari hukum domestic dan memiliki status hukum yang sama dan berlaku mengikat ke dalam system hukum di Negara yang telah menyetujui. Dengan demikian, seharusnya tidak ada lagi alasan bagi Arab Saudi untuk mengelak dari tanggung jawab dari memastikan adanya kebijakan yang mencegah kondisi yang mengarah pada perdagangan manusia dan melindungi perempuan buruh migran dari perlakuan yang diskriminatif dan perlakuan tidak manusiawi.
Oleh karena itu, menyambut kedatangan Raja Arab Saudi dan rombongan investasinya di Indonesia yang bertepatan dengan momentum peringatan Hari Perempuan Internasional, Komite Aksi Bersama International Women’s Day akan melakukan aksi diam sebagai bentuk kecaman dan protes keras terhadap kerjasama yang dibangun pemerintah Indonesia dan Arab Saudi tanpa memasukkan isu perlindungan terhadap BMI di Arab Saudi. Komite Aksi Bersama International Women’s Day juga menyampaikan tuntutannya kepada kedua Negara, Indonesia dan Arab Saudi, agar segera membebaskan Rusmini, Sumartini, dan Warnah dari segala tuntutan hukum dan memberikan rehabilitasi atas hukuman penjara yang sudah mereka jalani tanpa ada kepastian hukum.