Bekasi, KPonline – Dalam kehidupan sehari-hari sering kita mendengar istilah “PRASMANAN”. Prasmanan adalah cara penyajian makanan di atas meja panjang, di mana para tamu dapat mengambil makanan sesuai selera mereka sendiri. Prasmanan juga dikenal dengan istilah buffet atau self service.
Prasmanan dapat ditemukan di berbagai tempat, seperti hotel, restoran, acara sosial dan kantor atau pabrik-pabrik. Prasmanan biasanya efektif untuk melayani banyak orang sekaligus, seperti di lingkungan institusional, konvensi bisnis, atau pesta besar. Kata prasmanan berasal dari bahasa Perancis abad ke-18, yaitu bufet yang merujuk pada perabot tempat makanan disajikan.
Prasmanan sudah merupakan hal yang sangat lazim di kalangan masyarakat kita. Selain di hotel, cara tersebut juga kerap digunakan dalam berbagai pesta jamuan makan di acara pernikahan, perayaan ulang tahun dan kegiatan-kegiatan resmi lainnya. Sejatinya, cara prasmanan tidak dikenal di Indonesia. Orang-orang Nusantara (terutama Jawa dan Sumatera) lebih akrab dengan cara makan bersama dengan sajian jenis makanan yang dihidangkan secara terbuka.
Namun kita tidak akan membahas asal usul cara prasmanan, tetapi lebih menyoroti kebanyakan orang yang belum memahami maksud sebenarnya dengan cara prasmanan itu sendiri. Hal ini sangat jelas pasalnya sering kali kita melihat orang makan masih menyisakan nasi sehingga terbuang dengan sia-sia.
Seyogyanya kalau kita makan terlebih dengan cara Prasmanan jangan sampai ada nasi tersisa dan terbuang, “Prasmanan, Pas Rasanya Makan Nambah Nasi” artinya lebih baik kita nambah nasi dari pada sisa nasi dan terbuang.
Mengutip ucapan Surono Danu, seorang profesor padi asal Lampung yang separuh hidupnya dihabiskan untuk meneliti padi.
Ucapannya dalam panggung Svarna Bhumi Award 2023 yang disiarkan stasiun televisi Metro TV membuka nalar kita bagaimana satu butir beras ternyata bisa menghidupi masyarakat Indonesia.
“Apabila kita menyisakan satu butir nasi dalam satu piring, itu sama artinya kita menyisakan satu beras,” kata penemu bibit padi unggul Sertani.
“Satu gram beras itu 50 butir, satu kilo 50 ribu butir. Apabila satu penduduk Indonesia menyisakan satu butir, makan nasi 200 juta orang, itu sama saja 4 ton sekali makan beras dibuang. Dua kali makan 8 ton, satu bulan 240 ton,” ungkap Surono Danu.
“Saya sering meratap melihat anak-anak katanya milenial dengan pegang HP yang bisa geret-geret. Saya lihat makan di kedai atau di warung makan atau di rumah makan menyisakan setengah piring. Saya harus marah bagaimana? Mohon pengertiannya,” ucap Surono Danu.
Untuk diketahui Surono Danu seorang peneliti dan penemu dibidang pertanian dan berhasil menciptakan 180 variates padi baru dengan mengkawin silangkan padi-padi lokal di tanah air. Semoga kita semakin bijak dan tidak pernah lagi menyisakan nasi walau sebutir.