Meskipun akrab dengan gerakan buruh, namun Soekarno sendiri tidak pernah menjabat sebagai ketua serikat buruh, seperti Semaun dan Suryopranoto saat itu. Tapi, Soekarno menaruh dukungan besar terhadap pergerakan buruh.
Partai Nasional Indonesia (PNI), partainya Soekarno, saat memandang gerakan massa sebagai komponen penting perjuangannya, telah menempatkan pengorganisiran kaum buruh sebagai aspek penting dalam perjuangan partai. Bersamaan dengan perayaan Ulang Tahun PNI, 4 Juli 1929, partai telah memutuskan untuk mengintensifkan propaganda di kalangan buruh. Untuk itu, PNI telah memperkuat pengaruhnya terhadap salah satu serikat buruh saat itu, yaitu Sarekat Kaoem Boeroeh Indonesia (SKBI).
Ketika SKBI mulai ditindas penguasa kolonial karena keterkaitannya dengan Liga Anti Kolonialisme, PNI tidak berhenti dalam mengorganisir dan memperluas pengaruhnya di kalangan buruh. Pada bulan Juli hingga Agustus, PNI kembali mengorganisir beberapa serikat buruh di berbagai kota besar di Indonesia. Di Bandung, PNI mendirikan Persatoean Chauffeurs Indonesia, yang kemudian berganti nama menjadi “Persatoen Motorist Indonesia”-(PMI). Di Tanjung Priok, telah berdiri Sarikat Anak Kapal Indonesia (SAKI); di Surabaya berdiri Persatoean Djongos Indonesia (PDI) dan Persatoen Boeroeh Oost Java Stoomstram Mij (OJS-Bond Indonesia).
Paska kemerdekaan, meskipun PNI telah mensubordinasikan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional, namun mereka tetap tidak meninggalkan gerakan buruh. Pada tahun 1952, PNI telah mendirikan Konsentrasi Buruh Kerakyatan Indonesia (KBKI), yang haluan politiknya adalah menuntaskan perjuangan nasional. Dua tahun kemudian, 1954, KBKI berganti nama menjadi Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia.
Marhaen, kata Bung Karno, adalah kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain, misalnya kaum dagang kecil, kaum ngarit, kaum tukang kaleng, kaum grobag, kaum nelayan, dan lain-lain. Meski Soekarno tidak menggunakan istilah proletar, tetapi pada dasarnya dia mengakui kebenaran dari faham proletar, khususnya yang berkaitan dengan ajaran Marx ini. Soekarno sendiri tidak menutupi, bahwa bagian terbesar dari perjuangan kaum marhaen ini adalah kaum proletar.
Tapi, menurut Soekarno, ada perbedaan “keadaan” antara Eropa dan disini, Indonesia. Di Eropa, kapitalisme terutama sekali adalah kepabrikan, sedangkan di Indonesia masih bersifat pertanian. Selain itu, menurut Soekarno, kapitalisme di eropa bersifat “zuivere industri” (murni industri), sedangkan di sini sebanyak 75% berasal dari onderneming (perusahaan) gula, teh, tembakau, karet, kina, dsb. Ini, kata Soekarno, menghasilkan perbedaan; di eropa, hasil kapitalisme terutama sekali adalah proletar 100%, sedangkan di Indonesia melahirkan kaum tani yang melarat dan papa.
Meskipun kapitalisme mengacu pada 75% industri pertanian, tetapi Soekarno tidak menutupi kebenaran pendirian, bahwa proletar harus menjadi pembawa panji-panji. Soekarno telah berkata, “Nah, tentara kita adalah benar tentaranya marhaen, tentaranya kelas marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaga kaum tani, tetapi barisan pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum proletar”.
Marhaenisme tidak bermaksud menganulis teori kelas, malah berusaha menerapkan penggunaan teori kelas dalam konteks dan karakteristik Indonesia, seperti yang telah dijelaskan Soekarno di atas. Ini bukan versi baru bagi penganut marxisme di negeri dunia ketiga. Di Amerika Latin terdapat nama José Carlos Mariátegui, yang telah berusaha mengembangkan Marxisme dalam konteks setempat, dan mulai membuang aspek eropa-sentisnya. “Eropa Barat memiliki Sosial-Demokrasi; Rusia memiliki Komunisme; Tiongkok San Min Cu I; India mempunya Gandhiisme; marilah kita di Indonesia mempropagandakan kita punya Marhaenisme!” demikian dikatakan Soekarno.
Justru, dalam konteks sekarang ini, marhaenisme justru bisa dipergunakan sebagai salah satu alat analisis kelas versi Indonesia, asalkan dikembangkan dan sesuaikan dengan konteks saat ini. Sebagai missal, perkembangan sektor informal yang sudah mencapai lebih dari 70%, memaksa kita untuk menggunakan teori kelas secara kontekstual.
Walaupun Soekarno mengakui teori perjuangan kelas, namun ia selalu berusaha memperkokoh jiwa bangsa tidak sebagai kesadaran kelas, seperti yang biasa terdapat dalam gerakan buruh, tapi sebagai kesadaran bangsa, kesadaran untuk mencapai tujuan nasional. Bagi Soekarno, dalam tahap negeri kolonial, pertentangan-pertentangan kelas itu menjadi searah dengan pertentangan nasional.
Ini patut dimaklumi, sebab situasi tempat Soekarno membangun teorinya, salah satunya, karena baru saja menyaksikan perpecahan tajam di kalangan pergerakan, terutama perseteruan tajam antara kaum Marxist versus islam. Perpecahan hanya akan memperkuat kekuatan musuh, sedangkan barisan kita akan goyah.
Baca juga :
Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia (6) : Soekarno Dan Kaum Buruh
Sejarah seperti ini yang seharusnya buruh tahu, untuk menyemangati gerakan mereka