Sejak pertengahan 1921 terjadi resesi ekonomi di Hindia Belanda, dan hal itu ditanggapi oleh pihak pengusaha dengan menurunkan tingkat upahnya. Di Surabaya pada tahun 1921 terjadi pemogokan buruh-buruh pelabuhan. Mereka menuntut kenaikan upah yang dikurangi oleh pihak pengusaha. Buruh-buruh yang umumnya berasal dari Madura tidak mau bekerja sebelum tuntutan mereka dipenuhi. Mereka hanya duduk di sepanjang Kali Mas sambil membicarakan pengurangan upah mereka.
Pengusaha kemudian mencari alternatif untuk mengatasi persoalan, tidak dengan menaikkan upah yang dituntut oleh kaum buruh, melainkan mendatangkan tenaga kerja lain dari pedalaman. Buruh yang semula mogok, lalu terpecah dua. Sebagian akhirnya mau kembali bekerja dengan tingkat upah yang ‘disesuaikan’, sedangkan sebagian lainnya tetap tidak mau bekerja. Persoalan akhirnya tidak selesai secara tuntas, walaupun pihak pengusaha mengalami kerugian karena buruh-buruh yang baru didatangkan itu, tidak sekuat buruh-buruh Madura.
Pada bulan Agustus 1925 terjadi pemogokan di pelabuhan Semarang. Sebelumnya setahun penuh, SPPL telah mengorganisir buruh-buruh pelabuhan. Walau demikian, pemogokan tersebut tak dapat dikatakan sepenuhnya dijalankan berkat agitasi dan propaganda SPPL, melainkan karena ada tuntutan dari kaum buruh sendiri untuk menaikkan tingkat upah. Kondisi kerja dan pemukiman buruh pada masa itu amat buruk dan tidak memadai. Gubuk-gubuk yang membentuk kampung menjadi hunian sementara, dalam lingkungan yang sangat buruk sekalipun dalam ukuran zaman itu. Berbagai laporan pemerintah kolonial menunjukkan bahwa pemukiman menjadi salah satu persoalan utama, bukan hanya bagi buruh, tapi juga bagi perkembangan kota Semarang sendiri.
Aksi pemogokan ini dilakukan oleh para pelaut dan buruh-buruh kapal lainnya. Di antara bidang-bidang pekerjaan yang berbeda ini, timbul semacam solidaritas.
Misalnya, ketika para pelaut melakukan pemogokan, tidak seorangpun di antara buruh lainnya yang datang menggantikan, sekalipun sanggup. Justru mereka memilih ikut mogok bersama. Reaksi pihak pengusaha cukup keras walaupun dalam pemogokan ini pihak buruh tidak melakukan perusakan atau sabotase. Perusahaan itu mengerahkan polisi untuk memeriksa perahu-perahu dan kapal yang biasa dijalankan oleh buruh.
Para manajer perusahaan (orang-orang Belanda) diberi penjagaan khusus untuk menghindari tindak kekerasan.
Dari sejumlah catatan aksi tersebut, terlihat bahwa hubungan sesama buruh menjadi amat penting. Kampung, sebagai tempat tinggal mereka menjadi sarana penghubung untuk memberitahu aksi-aksi yang akan dilakukan buruh, sehingga persatuan di antara mereka dapat digalang dengan mudah. Para aktivis gerakan buruh sendiri mengakui bahwa penggalangan kekuatan buruh di pelabuhan, adalah pekerjaan yang sangat sulit, karena umumnya mereka tidak bekerja secara tetap. Pekerjaan sampingan sebagai buruh tani di desa membuat mereka tidak sepenuhnya bekerja di pelabuhan, dan tentunya pengalaman kolektif sebagai buruh yang berhadapan dengan modal, tak begitu dirasakan. Hal ini amat berbeda dengan para buruh di perusahaan kereta api, rumah gadai, industri cetak, dan pabrik yang menggunakan mesin.
Buruh trampil yang bekerja tetap memiliki peranan sentral dalam gerakan buruh pada masa itu. Mereka menjadi semacam penghubung antara para intelektual dan massa buruh yang bekerja di pabrik, pelabuhan, rumah gadai dan sebagainya. ‘Kelebihan’ sebagian buruh ini pada gilirannya juga menjadi masalah dalam menangani gerakan buruh. Karena ketrampilannya (baca, tulis dan lainnya) mereka tahu bahwa posisinya menjadi penting, baik dalam gerakan buruh maupun dalam kegiatan ekonomi kolonial. ‘Kelebihan’ ini pula yang membuat mereka cenderung diperlakukan baik oleh penguasa dan menerima upah yang tinggi. Hal ini kemudian berpengaruh dalam hubungan mereka dengan massa buruh lainnya. Masalah lain yang juga menghambat gerakan buruh yang kuat adalah pembagian tempat kerja, yang disusun berdasarkan pangkat, status, sukubangsa dan wilayah.
Reaksi pemerintah Hindia Belanda terhadap gerakan buruh juga menarik. Mereka umumnya mengecam tindakan-tindakan pemogokan sebagai ‘aksi komunis’ — dan bahkan menyatakan “seandainya orang-orang komunis tidak melakukan propaganda dan agitasi, maka tidak ada pemogokan”.
Dalam sebuah penelitiannya, John Ingleson, seorang sarjana Australia yang mempelajari sejarah gerakan buruh di Hindia Belanda, memperlihatkan bahwa kebanyakan pemogokan pada periode 1918-1926 disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi yang amat buruk. Memang benar bahwa orang-orang komunis memegang peranan besar dalam menggalang kekuatan kaum buruh dalam organisasi, tapi tak dapat dilupakan bagaimana kondisi kerja yang buruk juga mengizinkan buruh untuk melakukan aksi-aksinya.
Pemerintah Hindia Belanda yang amat reaksioner di masa itu, tidak bertentangan dengan pengusaha yang melakukan eksploitasi. Walaupun negara kolonial tidak dikendalikan oleh kelas tertentu, kepentingan mereka agaknya masih bersambungan.
Sejak Desember 1925, pengorganisasian buruh di perkotaan semakin sulit. Kebanyakan serikat buruh tidak berjalan dengan baik karena pemimpin-pemimpin mereka banyak yang berada di penjara atau pengasingan. Para aktivis setempat umumnya kehilangan pekerjaan, atau sangat khawatir bahwa mereka akan mengalaminya. Mereka kemudian cenderung bekerja dengan tenang, dan dengan sendirinya menyampingkan kegiatan organisasi. Sejumlah pemogokan tetap dilakukan, dan sifatnya lebih spontan, karena ada persoalan-persoalan lokal, seperti upah yang tidak terbayar. Hal ini dapat ditemui di pelabuhan, tempat percetakan, dan pabrik. Setelah dikalahkannya pemogokan buruh di Surabaya di bulan Desember 1925, fase pertama gerakan buruh di Indonesia berakhir. Serikat-serikat buruh tetap berdiri, walaupun kehilangan banyak aktivisnya.
Pada tahun 1926 terjadi aksi-aksi perlawanan di seluruh Jawa dan bagian Barat Sumatra. Pemerintah Hindia Belanda menumpas gerakan itu dengan kekerasan, dengan hasil ratusan orang terbunuh, dan ribuan lainnya ditangkap dan dibuang ke luar Jawa. Tempat pembuangan yang kemudian terkenal adalah Tanah Merah di Nieuw Guinea (Irian Jaya pada masa sekarang). Keadaan tempat pembuangan tersebut amat buruk, dan belum pernah dihuni manusia sebelumnya. Orang-orang buangan dipaksa membuat sendiri tempat tinggal mereka di tengah hutan dan rawa. Penyakit yang paling sering muncul adalah malaria hitam yang mematikan.
Sejumlah tokoh pergerakan seperti penyair aktivis Mas Marco Kartodikromo, Najoan dan Ali Archam meninggal di tempat ini. Pemerintah Hindia Belanda menuduh bahwa gerakan itu didalangi oleh orang-orang komunis dengan dukungan Komintern. Dengan tindakan pembuangan ini, pemerintah Hindia Belanda telah berhasil menumpas pergerakan radikal di Jawa dan menyingkirkan tokoh-tokohnya yang paling berpengaruh, sehingga tidak dapat mengadakan kontak dengan mereka yang terus bergerak. Setelah peristiwa 1926 ini, organisasi seperti PVH tidak lagi terdengar, begitu pula dengan VSTP, PFB dan lainnya.
Hilangnya tokoh-tokoh radikal itu amat berpengaruh pada perkembangan gerakan buruh di Jawa. Tokoh gerakan buruh yang masih bertahan tidak lagi dapat menggunakan cara-cara seperti sebelumnya, karena sejak 1927 pemerintah Hindia Belanda melakukan tekanan terhadap gerakan-gerakan radikal. Beberapa tokoh kritis di Belanda sendiri, menilai tindakan negara Hindia Belanda sudah menjurus pada fasisme. Pada bulan Juli 1927, buruh kereta api mendirikan Perhimpoenan Beambte Spoor dan Tram (PBST) yang dalam beberapa bulan saja berhasil menghimpun sekitar 5.000 buruh. Sejumlah organisasi yang sudah ada sebelum 1926, kembali digerakkan secara bertahap, walaupun kekuatannya lebih lemah jika dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Pada tanggal 8 Juli 1928, didirikan Sarekat Kaoem Boeroeh Indonesia (SKBI) di Surabaya, yang beranggotakan beberapa serikat buruh lokal. Organisasi yang diketuai Marsudi ini dengan cepat dicurigai oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai ‘komunis’ — sama pemerintah Orde Baru menuduh aktivis buruh di zaman itu sebagai ‘PKI’ atau ‘keturunan PKI’. Organisasi ini berkembang cepat sampai ke Medan, yang dipimpin oleh Mr Iwa Kusumasumantri. Pada tanggal 1 April 1929 SKBI bergabung dalam Liga Menentang Kolonialisme dan Penindasan yang dikoordinir oleh Internasionale Ketiga (Komintern). Kecurigaan Belanda memuncak, dan pada tahun 1929 mereka menggeledah kantor-kantor pusat organisasi ini dan menangkap semua pimpinannya, yang kemudian dibuang ke Boven Digoel tanpa pemeriksaan sebelumnya.
Pada bulan April 1930 sejumlah serikat buruh yang bekerja pada kantor-kantor pemerintah, kembali membuat federasi serikat buruh dengan nama Persatoean Vakbond Pegawai Negeri (PVPN). Sementara itu di perusahaan-perusahaan swasta kaum buruh kembali bergabung di bawah naungan Persatoean Sarekat Sekerdja (PSSI), yang dibentuk beberapa bulan setelah PVPN. Kedua organisasi ini menjadi pimpinan gerakan buruh pada masa setelah 1926, dan tidak melakukan kegiatan atau aksi yang berarti. PVPN misalnya sama sekali tidak melakukan pembicaraan politik dan bergabung dengan federasi serikat buruh internasional pada tahun 1931. PSSI sendiri, walaupun memiliki organisasi yang baik, tidak melibatkan mayoritas buruh yang tidak memiliki organisasi.
Kecurigaan pemerintah Hindia Belanda terus berlangsung terhadap gerakan buruh ini, dan dengan mudah mereka dapat melakukan penangkapan tokoh-tokoh yang kemudian dibuang ke luar Jawa.
Depresi 1929 membawa pengaruh yang cukup besar pada perkembangan gerakan buruh. Kesulitan ekonomi mengakibatkan para pengusaha mengambil jalan pintas, yaitu memecat buruh-buruhnya. Hal ini dengan sendirinya berpengaruh kepada keanggotaan serikat buruh yang ada. PVPN misalnya, pada tahun 1933 kehilangan sekitar 8.000 anggotanya. Banyak organisasi yang bernaung di bawah federasi ini mati di tengah jalan. Hal yang sama juga dialami oleh PSSI. Dalam masa resesi, hanya golongan Tionghoa yang berhasil mencatat sejumlah kemajuan.
Di beberapa kota besar, seperti Semarang, Jakarta dan Bandung, mereka berhasil mendirikan Perkoempoelan Kaoem Boeroeh Tionghoa (PKBT) dan Serikat Boeroeh Tionghoa (SBT). Dalam sebuah konperensi tanggal 25 Desember 1933, mereka mendirikan Federasi Kaoem Boeroeh Tionghoa (FKBT). Kedatangan Direktur ILO, Harold B Butler pada bulan Oktober 1938 sebenarnya membawa banyak harapan, tapi seperti yang diamati kemudian, tidak terjadi kemajuan yang berarti.
Rencana pembentukan partai politik menjelang tahun 1938 menjadi pembicaraan yang hangat. Sebagian orang yang merasa bahwa perlunya didirikan sebuah partai untuk membela kepentingan buruh mendirikan Indische Partij van Werknemers. Pada tanggal 7 Oktober 1938 di Jakarta. Alasan pendirian partai ini, dalam rapat pelantikan disebutkan bahwa hasil organisasi yang kuat untuk memberi dukungan kepada gerakan buruh. Di samping itu IPVW juga bertujuan memberantas pengangguran serta kesulitan-kesulitan lain dalam memajukan industri rakyat. Munculnya partai ini tidak serta merta diterima oleh serikat-serikat buruh yang ada. PVPN misalnya mengeluarkan pernyataan ‘sebelum PVPN menetapkan sikapnya… perlu diselidiki dulu keuntungan dan kerugian kita atas pendirian partai baru ini dan bagaimana sambutan masyarakat atas lahirnya partai ini
Pada masa pendudukan Jepang, seperti diketahui, terjadi kemacetan dalam bidang politik. Pemerintah militer Jepang melarang semua kegiatan politik, kecuali beberapa lembaga yang didirikan secara khusus untuk kepentingan mereka. Gerakan buruh secara umum mengalami kemacetan, hanya sejumlah tokoh yang tetap aktif, dan itu pun bukan dalam kegiatan serikat buruh. Banyak di antara mereka bergabung dengan kegiatan bawah tanah yang tersebar di Jakarta dan Jawa Timur.
Hal yang penting untuk dicatat dari gerakan buruh di zaman kolonial, adalah kenyataan bahwa gerakan tersebut tak pernah terlepas dari kegiatan politik. Artinya, pada masa sebelum 1927, gerakan buruh jelas memiliki persekutuan dengan kegiatan politik, seperti VSTP yang berhubungan erat dengan ISDV. Begitu pula dengan serikat-serikat buruh lainnya. PPKB sendiri sebagai federasi gerakan buruh yang pertama di Hindia, merupakan hasil pergolakan politik, dan tidak muncul begitu saja. Pada masa setelah tahun 1927, tekanan pemerintah Hindia Belanda terhadap dunia pergerakan (melalui pelarangan, penangkapan, pembuangan, pembunuhan dan sebagainya) mengakibatkan munculnya organisasi buruh yang lebih moderat ketimbang masa sebelumnya. Dibuangnya sejumlah tokoh radikal tentu berpengaruh besar terhadap perkembangan sosial-politik di Hindia.
Hal ini membuktikan bahwa kepentingan negara dan modal di satu pihak, selalu berhadapan dengan kepentingan masyarakat yang merupakan mayoritas. Pada masa 1927-1942 negara berhasil menancapkan kembali dominasinya dalam kehidupan sosial politik yang semula ‘terganggu’ dengan adanya gerakan buruh yang radikal tersebut.
Baca Juga :
Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia : Serikat Buruh Pertama di Jawa (4)
Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia : Terbentuknya Serikat Buruh (3)
Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia : Masa Penjajahan (2)
Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia : Masa Kerajaan (1)