Jakarta, KPonline – Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (Sekjen KSPI) Muhamad Rusdi menghadiri undangan diskusi tematik dari Ombudsman Indonesia terkait tenaga kerja asing di Indonesia.
Bagi KSPI, masalah TKA bukan hanya pada jumlah. Lebih penting dari itu, ada regulasi yang terlah dilanggar.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketanagakerjaan sudah diatur beberapa syarat untuk TKA. Pertama, TKA yang bekerja di Indonesia harus memiliki keterampilan. Dengan demikian, TKA yang tidak memiliki keterampilan tidak boleh bekerja di Indonesia.
Syarat kedua, TKA yang memiliki keterampilan wajib didampingi tenaga kerja lokal asal Indonesia. Tujuannya agar terjadi transfer pengetahuan dan transfer pekerjaan. Dengan demikian, tenaga kerja Indonesia yang mendampingi TKA bisa memiliki keterampilan yang sama dengan TKA yang didampingi. Ketika kemudian dalam rentang waktu tertentu si TKA kembali ke negara asalnya, pekerjaan yang ditinggalkan sudah bisa diisi oleh tenaga kerja lokal.
“Tapi janji ini kemungkinan dimanfaatkan oleh para pebisnis untuk menghadirkan tenaga kerja asing secara ilegal,” kata Komisioner Ombudsman RI Laode Ida di kantornya, Jakarta, Kamis (19/1).
Laode sebagai penanggung jawab bidang ketenagakerjaan Ombudsman, menelusuri permasalahan TKA ilegal terutama dari Cina. Ombudsman mencatat, meskipun data TKA ilegal masih simpang siur, tapi data awal yang diperoleh Ombudsman, beredar kabar bahwa jumlah tenaga kerja asing asal Cina mencapai 10 juta orang dan sebagian besar ilegal.
Meskipun pada akhirnya angka tersebut diklarifikasi oleh Kementerian Tenaga Kerja sebanyak 21.271. Angka 10 juta tenaga kerja asing ternyata merupakan jumlah wisatawan yang diharapkan masuk ke Indonesia.
“Data awal yang diperoleh Ombudsman adalah dari media massa dan laporan masyarakat,” kata Laode.
Ombudsman mencatat juga, penyebab hadirnya TKA yang bermasalah adalah banyak TKA yang tidak sesuai dengan kompetensi, penyalahgunaan visa kunjungan, perusahaan tidak memiliki RPRKA dan IMTA, TKA tidak memiliki KITAS dan KITAP, TKA tidak bisa berbahasa Indonesia dan kordinasi yang belum berjalan antara Kemnaker, Imigrasi dan lembaga lain.
Laode memaparkan contoh temuan TKA ilegal yang diperoleh Ombudsman, misalnya 5 ribuan pekerja ilegal asal cina di PT BDM di Morowali Sulteng, 70 tenaga kerja asing ilegal Cina ditangkap di Banten, banyaknya TKA Cina ilegal di Banten, sebagian besar buruh dan 7.000 lebih pekerja asing ilegal padati Jawa Timur.
“Jalur masuk TKA ilegal ini adalah jalur udara, jalur laut dan jalur perbatasan. Penyebabnya investasi PMA (penanaman modal asing), umumnya dari Cina, khususnya yang bergerak dalam eksploitasi sumber daya alam termasuk juga perumahan dan konstruksi,” urainya.
Selanjutnya, Laode juga memaparkan temuan lanjutan dari pemerintah daerah bahwa otoritas lokal justru lemah dan tidak berdaya dalam mencoba melakukan pengawasan TKA ilegal dari luar.
“Kami minta pemerintah segera menyikapi dan menentukan policy yang akan diambil guna menjaga keseimbangan kesempatan kerja yan diperoleh oleh tenaga kerja dalam negeri,” tukas Laode.
Ombudsman RI mengkritisi kebijakan bebas visa oleh pemerintah yang diduga berdampak pada banyaknya tenaga kerja asing (TKA) ilegal di Indonesia. Menurut Ombudsman, pemerintah harus diingatkan lantaran dengan kebijakan tersebut Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) hilang.
“PNBP merugi sekitar Rp1 triliun. Saya kira evaluasi kritis karena harus diingatkan pemerintah, kita kehilangan PNBP,” tegas Komisioner Ombudsman RI La Ode Ida, di kantornya, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (19/1/2017)
Tak hanya PNBP yang hilang. Ombudsman juga mensinyalir bahwa dengan kebijakan yang kemudian berdampak pada adanya TKA ilegal ini Indonesia telah di eksploitasi kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) nya.
“Kita di eksploitasi SDA-nya dengan dimanfaatkan pihak pengusaha dan buruhnya dari asing juga. Jadi kita betul-betul disedot SDA-nya, disedot pendapatan negaranya karena pembiaran TKA ilegal ini,” tandas dia.
Sebelumnya diberitakan, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay menyebutkan bahwa pemberlakukan bebas visa telah menyebabkan Indonesia rugi.
“Indonesia memberlakukan bebas visa untuk 169 negara, tapi kita rugi soalnya satu visa itu biasa dikenakan USD35. Ini lebih dari satu triliun kita rugi karena bebas visa. Padahal bisa buat APBD Kabupate atau kota dalam setahun,” pungkas Saleh.