Oleh : Adityo Fajar
Kepala Bidang Ideologi dan Kaderisasi Partai Buruh
Chun Doo-hwan berkuasa tak terlalu lama, kurang dari satu dasawarsa. Tampuk kekuasaan diraihnya lewat kudeta. Dia memerintah usai terbunuhnya Park Chung Hee, jenderal lain, diktator sebelum dirinya. Chun meraih dan mempertahankan kekuasaannya melalui jalan darah.
Pada suatu ketika di Gwangju, rakyat yang muak terhadap kediktatoran melakukan pembangkangan. Ada 200.000 orang melawan, menguasai kota. Chun mengirim 3000 pasukan terjun payung, 18.000 polisi, 23.000 bala tentara, juga barisan tank, dan tentu saja: kematian.
Seperti lazimnya kisah kediktatoran militer, bila jelata bersuara, apalagi membangkang, kuburan massal akan disiapkan tanpa sesal. Gwangju lantas menjadi cerita pembantaian. Peristiwa Gwangju dipercaya menjadi titik berangkat kelahiran Pemberontakan Juni 1988. Itulah tahun dikala kediktatoran militer Korea Selatan menjemput ajal.
Sewindu setelah kekuasaannya longsor, Chun diseret ke pengadilan. Pengadilan Distrik Seoul menjatuhinya hukuman mati. Dia harus digantung. Hukuman itu kemudian diganti penjara seumur hidup, lalu diubah lagi jadi kurungan sekian tahun. Chun melanjutkan hidup dengan mendekam di kuil, tampaknya ia menjalani pertobatan. Mungkin dia tahu dirinya berlumuram dosa.
Chun meninggal di rumahnya pada penghujung 2021. Karena Chun tak pernah meminta maaf atas perannya dalam Pembantaian Gwangju dan kejahatan masa lalu, pemerintah Korea Selatan hanya menyatakan belasungkawa terbatas. Tak ada karangan bunga dikirim.
Pemerintah Korea Selatan memutuskan tidak mengadakan pemakaman kenegaraan buat Chun. Pemakamannya dilakukan oleh keluarganya tanpa bantuan pemerintah. Partai penguasa dan oposisi Korea Selatan mengambil sikap. Mereka menahan diri untuk mengirimkan belasungkawa resmi.
Tetapi, demokrasi adalah permainan sulit. Putri Park Chung Hee, -diktator keji sebelum Chun Doo-hwan-, terpilih sebagai presiden perempuan pertama Korea Selatan pada 2013. Park lantas masuk bui karena suap dan gratifikasi. 20 tahun vonis awalnya, sebab diberi remisi, kurang dari lima tahun dia jalani. “Like Father, Like Daughter”, ayah dan anak korup. Demikian Korea punya cerita.
Sementara Soeharto berkuasa selama 32 tahun di Indonesia. Selama itu ada banyak darah, ada banyak orang menyakini begitu besar uang dicuri. Delapan tahun setelah jatuh, upaya mengadili diktator tua ini berakhir dengan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3). “Adili Soeharto” sebagai (salah satu) pekik dan amanat Reformasi 1998, seketika tamat.
Seorang mantan aktivis yang dulu turut terlibat menjatuhkan Soeharto menyatakan opininya semalam. Dalam talk show terkenal mulutnya bilang, sudahlah, jangan terus diungkit-ungkit. Pria ini politisi kondang. Dia minta kita melupakan. Semua orang punya kebaikan dan kesalahan, ujarnya. Tuan ini mungkin ingin terlihat bijak.
“Mikul dhuwur, mendhem jero.” Itu filosofi Jawa. Jasa seorang pemimpin atau orang tua harus dijunjung tinggi, sedangkan kesalahannya harus ditutupi, demikian maknanya. Kultur feodalisme Jawa terbilang hegemon di negeri ini, tanpa kecuali dalam politik. Lelaki Sumbawa pun bisa menjadi ‘sangat Jawa’, setidaknya di acara bincang-bincang bertajuk 25 tahun Reformasi.
Seperempat abad berlalu, sejak negeri ini mengumandangkan Reformasi. Diktator telah tidur selamanya di makam megah Astana Giribangun, tanpa pengadilan. Acara curi mencuri terus terjadi. Korupsi meluas dari sentral kekuasaan hingga ke pendopo Bupati dan aparatus desa di pelosok negeri. Kesejahteraan rakyat masih terbang jauh. Demikian kita punya cerita.
Pada suatu masa Korea Selatan menghukum diktatornya, memenangkan dan menanam nilai buat sejarah. Sedang kita bahkan tak pernah mendapat pelajaran sederhana tentang keadilan. Maaf memaafkan untuk kesalahan-kesalahan besar, melupakannya seiring waktu berjalan, tak ada pelajaran apa-apa yang tersisa, kecuali akal-akalan dan hilangnya kepribadian.
Di Korea seorang menteri mundur tanpa diminta karena listrik padam. Sementara di sini 135 nyawa hilang di Kanjuruhan, para petinggi sibuk memunggungi tragedi, publik pun lamat-lamat latah untuk lupa. Adab kita mungkin berbeda dengan mereka, tapi setidaknya kegilaan pada drama Korea dan K-Pop telah membuat kita serupa. Saya ikut-ikutan berdemonstrasi seperempat abad silam sembari meneriakkan “Turunkan Soeharto!”, tentu saja bukan untuk ini.