Jakarta,KPonline – Serikat Pekerja di Sektor Ketenenagalistrikan yang terdiri dari Serikat Pekerja PT PLN (Persero), Persatuan Pekerja Indonesia Power (PPIP), Serikat Pekerja Pembangkit Jawa – Bali (SP PJB), Serikat Pekerja Elektronik Elektrik (SPEE FSPMI), dan Federasi Serikat Buruh Kerakyatan Indonesia (Serbuk) menjadikan momentum Hari Buruh Internasional (May Day) yang jatuh pada tanggal 1 Mei untuk menyuarakan perlawanan terhadap privatisasi ketenagalistrikan. Perlawanan terhadap privatisasi ini dilakukan, mengingat di dalam UU Cipta Kerja membuka ruang ketenagalistrikan bisa dikuasai oleh swasta.
Sebelumnya, serikat pekerja ketenagalistrikan mengajukan judicial review terhadap UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK), baik formil maupun materiil. Disampaikan Ketua Umum SP PLN M Abrar Ali, berdasarkan Putusan MK tahun 2004 dan 2016 pada UU Ketenagalistrikan, tenaga listrik adalah salah satu cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, tenaga listrik harus dikuasai oleh negara.
“Perubahan UU Ketenagalistrikan pada pasal 42 UU Cipta Kerja mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Judicial Review terhadap pasal 10 ayat (2) tentang Unbundling dan pasal 11 ayat (1) tentang Swastanisasi atau Liberalisasi Sektor Ketenagalistrikan” kata Abrar.
Lebih dari itu, UU Cipta Kerja juga menghilangkan peran DPR dalam pembuatan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), memperluas peran swasta. Bahkan membolehkan pihak swasta melakukan sewa jaringan tenaga listrik, sehingga menimbulkan masalah koordinasi apabila terjadi gangguan jaringan tenaga listrik.
“Berlakunya UU Cipta Kerja berpotensi membebani negara untuk memberikan subsidi, dan bila beban subsidi tersebut tidak bisa di tanggung APBN, maka berpotensi menyebabkan kenaikan harga listrik bagi masyarakat. Agar hal itu tidak terjadi, sektor ketenagalistrikan wajib dikuasai oleh Negara dari hulu sampai hilir dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia,” tegasnya.
Ketua Umum PPIP Dwi Hantoro menambahkan bahwa aturanan turunan UU Cipta Kerja, yaitu PP No 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral juga berpotensi merugikan rakyat. Selain melahirkan pasal zombie, juga menghilangkan kewenangan presiden dan menghilangkan penguasaan negara.
“Dalam Pasal 26 Ayat (2) PP No 25 Tahun 2021 disebutkan, bahwa penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dapat dilakukan secara terintegrasi. Padahal ketentuan yang sama di dalam UU No 30 Tahun 2009, oleh MK pernah diyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila diartikan menjadi dibenarkannya praktik unbudling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sedemikian rupa sehingga menghilangkan kontrol negara sesuai dengan prinsip dikuasai oleh negara,” ujar Dwi Hantoro.
“Serikat pekerja mempunyai mandat untuk memastikan bahwa listrik dikelola oleh negara, murah, terjangkau dan berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam momentum hari buruh ini, kami meminta agar privatisasi dan segala bentuk outsoursing harus dihapuskan,” lanjutnya.
Terpisah, Ketua Umum SP PJB Agus Wibawa mengatakan bahwa listrik adalah bagian dari ketahanan dan kedaulatan negara. Terlebih di era revolusi industry 4.0, hampir semua aspek kehidupan tidak bisa dipisahkan dari listrik dan bisa dikontrol secara digital dari satu command centre.
“Jika pengelolaan ketenagalistrikan termasuk digitalisasinya jatuh ke tangan swasta, maka taruhannya adalah kedaulatan bagi negara kita,” ujarnya.
Tetapi sayangnya, lanjut Agus, di dalam UU Cipta Kerja penyusunan rencana umum ketenagalistrikan nasional tidak perlu lagi dikonsultasikan dengan DPR RI, tetapi hanya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Padahal DPR adalah representasi dari rakyat. Ironisnya, dalam PP No 25 Tahun 2021 ketentuan tersebut kembali direduksi, hanya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Padahal yang dimaksud Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintah negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri.
Tidak hanya terkait ketenagalistrikan, serikat pekerja juga menyoroti klaster ketenagakerjaan. Beberapa permasalahan tersebut antara lain seperti aturan Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), hilangnya upah minimum sektoral dan upah minimum kabupaten/kota bersyarat, outsoucing yang bebas di semua jenis pekerjaan (termasuk core business), kerja kontrak yang semakin fleksibel, pengurangan pesangon, dan mudahnya bagi pengusaha melakukan PHK.
Terkait klaster ketenagakerjaan ini, Ketua Umum SERBUK Indonesia Usman Sopyian mengatakan bahwa undang-undang yang baru ini membuat pekerja rentan kehilangan pekerjaan, akibat dari kontrak kerja yang fleksibel dan PHK yang semakin mudah.
“Sebelum adanya UU Cipta Kerja saja praktek outsrocing sudah sangat mengkhawatirkan, meskipun undang-undang sudah membatasi outsorcing hanya boleh untuk lima jenis pekerjaan. Maka, hampir bisa dipastikan ke depan pekerja sembilan puluh persen pekerja adalah tenaga alih daya, yang tidak memiliki jaminan pensiun, dan rentan sekali di-PHK.” Terangnya.
“UU Cipta Kerja hanya namanya saja yang bagus, tapi isinya lebih banyak mudarat daripada manfaat. Saat ini ketenagakerjaan di Indonesia mengalami fase yang terburuk sepanjang sejarah Indonesia, perlindungan negara terhadap buruh/pekerja semakin hilang. Demikian halnya dengan kedaulatan, penguasaan swasta pada sektor kelistrikan adalah bentuk lemahnya negara untuk melindungi kedaulatan energi dan kedaulatan negara, maka dari itu UU Cipta kerja harus dibatalkan,” tegas H Abdul Bais sebagai Ketua umum SPEE FSPMI.