Jakarta,KPonline – Presiden Jokowi di periode 2014-2019, menempatkan reforma agraria dan kedaulatan pangan sebagai prioritas dalam Nawa Cita (sembilan program prioritas) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Pada periode kedua pemerintahannya, Presiden Jokowi kembali melanjutkan reforma agraria sebagai prioritas.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyampaikan, SPI mengapresiasi komitmen pemerintah saat ini dengan menjadikan reforma agraria dan kedaulatan pangan sebagai bagian dari visi-misi dan prioritas pemerintah. Hanya saja, dalam pelaksanaannya kedua hal tersebut justru mengalami penyelewengan dari tujuan awal.
“Terkait Reforma Agraria, pada periode kedua pemerintahan Jokowi terjadi upaya menyelewengkan substansi Reforma Agraria sejati (yang sesuai dengan konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 – UUPA 1960). Berbagai deregulasi dan pelemahan-pelemahan substansi Reforma Agraria terjadi secara sistematis, dari pihak-pihak yang kontra terhadap Reforma Agraria sejati,” katanya dari Medan, Sumatera Utara, pagi ini (08/10).
Henry menyampaikan, langkah-langkah sebagai upaya untuk mempercepat pelaksanaan Reforma Agraria telah diambil pemerintah, dengan mengesahkan Peraturan Presiden RI (Perpres) Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di Dalam Kawasan Hutan dan Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
“Hanya saja, Perpres Reforma Agraria yang disahkan bertepatan dengan Hari Tani Nasional tanggal 24 September 2018 tersebut secara batang tubuh berbeda cukup nyata dengan rancangan yang dibahas SPI bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN RI tahun 2016-2017 lalu. Oleh karenanya, tak mengherankan apabila pelaksanaan peraturan ini lambat dan belum sesuai dengan harapan,” keluhnya.
Henry melanjutkan, mirisnya pelaksanaan Reforma Agraria mengalami hambatan dengan kehadiran omnibus law UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya.
“Setelah disahkan pada November 2020, UU Cipta Kerja sudah menunjukkan dampaknya yakni semakin marak terjadi perampasan sumber-sumber agraria yang dimiliki dan dikuasai petani atas nama investasi,” keluhnya.
“Dari catatan SPI, UU Cipta Kerja mengakibatkan kerugian bagi petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan. Hal ini mengingat UU Cipta Kerja menghapus, dan mengubah substansi peraturan perundang-undangan yang berpihak pada petani dan masyarakat yang bekerja di perdesaan, serta pelaksanaan Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan di Indonesia,” sambungnya.
Henry menerangkan, UU Cipta Kerja bahkan mengandung pasal-pasal yang anti reforma agraria sejati (sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria – UUPA 1960).
“Di dalam pasal 125 – 146, UU Cipta Kerja memuat pengaturan baru terkait pertanahan seperti munculnya Hak Pengelolaan (HPL) sebagai dasar hak atas tanah di Indonesia, pembentukan Bank Tanah untuk kepentingan investasi, sampai dengan pemberian hak milik rumah susun bagi warga negara asing,” jelasnya.
“Setelah melalui berbagai tahapan persidangan dalam waktu satu tahun, pada tanggal 25 November 2021 MK memutuskan UU Cipta Kerja Cacat Formil dan Inkonstitusional Bersyarat. Amar putusan MK juga menyatakan bahwa tidak dibenarkan untuk mengambil tindakan atau kebijakan strategis dan berdampak luas, termasuk menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja. Hal ini merupakan kemenangan besar bagi para petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan. Putusan MK tersebut juga menjadi penanda bagaimana pemerintah tidak memiliki komitmen yang kuat, terhadap kepentingan-kepentingan rakyat banyak,” paparnya.
Sikap SPI terhadap Rancangan Perpres Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria
Henry melanjutkan, sebaliknya Rancangan Perpres Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria yang saat ini dibahas Kemenko Perekonomian justru dominan untuk mengakomodir kepentingan korporasi, bukan rakyat, petani kecil. Untuk itu, Henry menegaskan, ada beberapa poin yang jadi kritik keras SPI.
“Pertama, situasi saat ini bukan untuk merevisi berbagai kelemahan Peraturan Presiden (Perpres) No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Melainkan Perpres Reforma Agraria patut diperbarui ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari perpres, yaitu peraturan pemerintah,” kata Henry.
“Kedua, SPI menolak revisi Perpres Percepatan Reforma Agraria karena berlandaskan UU Cipta Kerja dan PP 64/2021 tentang Bank Tanah yang melemahkan UUD 1945, Tap MPR IX/2001, UUPA 1960 dan Putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat,” lanjutnya.
“Ketiga, revisi Perpres Percepatan Reforma Agraria untuk Investasi. Batang tubuh Perpres lebih berpihak kepada korporasi dibandingkan petani dan rakyat yang mengalami konflik agraria. Hal ini dibuktikan dengan masih memberikan peluang perpanjangan hak dalam dua tahun setelah HGU/HGB/Hak Pakai berakhir. Jadi tidak otomatis menjadi tanah negara dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA),” sambungnya.
“Keempat, penyelesaian konflik agraria dengan BUMN perkebunan menunjukkan arus balik percepatan penyelesaian konflik. Hal ini dilihat dari aspek pertimbangan lama penguasaan fisik oleh rakyat dalam menyelesaikan konflik, padahal banyak faktor yang menyebabkan petani tidak mampu untuk menguasai lapangan, salah satunya kriminalisasi dan penggusuran” sambungnya lagi.
“Kelima, SPI menolak pemberian hak pengelolaan (HPL) kepada BUMN Perkebunan, karena bukan solusi atas hambatan penyelesaian konflik agraria selama ini dengan BUMN perkebunan. Keenam, SPI menolak skema pola penyelesaian konflik agraria yang menggunakan hak atas tanah berjangka waktu, karena semakin tidak memberikan jaminan kepastian bagi petani/rakyat terhadap tanah yang sudah dijadikan obyek reforma agraria,” paparnya.
“Poin ketujuh adalah, Perpres Percepatan Reforma Agraria tidak mengatur masyarakat adat. Tidak ada satu pasal pun mengakomodir terkait tanah masyarakat hukum adat,” keluhnya.
Henry menambahakn, poin berikutnya adalah Presiden harus memimpin langsung tim atau kelembagaan pelaksana reforma agraria dan percepatan penyelesaian konflik agraria. Sehingga memiliki kepemimpinan untuk menentukan keputusan serta dapat melakukan terobosan atau upaya percepatan baik di kementerian atau lembaga, maupun pemerintah daerah yang tergabung dalam tim.
“Catatan kami yang terakhir adalah, kelembagaan pelaksana reforma agraria mesti melibatkan organisasi petani dan gerakan reforma agraria agar diantara anggota terkhusus yang birokrat memiliki pemahaman yang sama terhadap tugas, tujuan dan target yaitu percepatan penyelesaian konflik agraria dan penguatan kebijakan reforma agraria, sebagai upaya mencapai target pelaksanaan reforma agraria,” tutupnya.