Setelah Lebaran: Mengawali Hidup Baru di Tengah Darurat Lapangan Kerja

Setelah Lebaran: Mengawali Hidup Baru di Tengah Darurat Lapangan Kerja

Pelalawan, KPonline – Lebaran selalu menjadi momentum sakral bagi banyak orang di Indonesia. Setelah sebulan penuh menahan lapar, dahaga, dan hawa nafsu, datanglah hari kemenangan yang identik dengan maaf, keluarga, dan harapan baru. Tapi selepas gema takbir memudar dan makanan khas Lebaran habis disantap, banyak yang kembali dihadapkan pada kenyataan pahit: hidup harus dilanjutkan. Tahun ini, tantangannya lebih berat dari biasanya—karena setelah Lebaran, Indonesia sedang berada di posisi darurat lapangan kerja.

Tidak sedikit yang kembali dari kampung halaman hanya untuk mendapati bahwa perusahaan tempat mereka bekerja telah tutup, atau kabar buruk menanti: Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Menurut data terbaru, angka PHK meningkat tajam selama kuartal pertama tahun ini. Penyebabnya beragam—dari efisiensi perusahaan, tekanan ekonomi global, hingga transisi digital yang tidak diimbangi kesiapan tenaga kerja. Di saat semangat memulai hidup baru sedang membara, justru kesempatan untuk melangkah terasa makin sempit.

Bacaan Lainnya

Lalu pertanyaannya, kemana harus mencari semua yang serba baru itu? Lapangan kerja baru, pemikiran baru, harapan baru—semuanya seakan jadi kemewahan yang langka. Pemerintah memang menggencarkan program pelatihan, inkubasi UMKM, dan dukungan wirausaha digital. Tapi tak bisa dipungkiri, kecepatan pertumbuhan masalah jauh melampaui kecepatan solusi. Banyak pekerja yang tersingkir belum punya waktu atau akses untuk beradaptasi dengan kebutuhan industri baru.

Di sisi lain, era ini sebenarnya membuka peluang jika dibaca dengan jeli. Dunia pasca-pandemi melahirkan banyak profesi baru berbasis teknologi, kreatif, dan keahlian khusus. Pekerjaan tidak lagi harus dilakukan dari kantor, dan kemandirian digital menjadi kunci. Sayangnya, tidak semua orang punya modal pengetahuan atau mentalitas yang siap untuk bergeser ke arah itu. Maka, pemikiran baru pun menjadi kebutuhan mendesak—bukan sekadar keinginan.

Kita butuh revolusi dalam cara berpikir: dari mental pekerja menjadi mental pembelajar. Dari menunggu dibukakan pintu pekerjaan, menjadi pencipta peluang. Dari mengandalkan ijazah, menjadi pengasah keterampilan. Dunia kerja kini lebih menghargai kemampuan beradaptasi daripada pengalaman panjang. Di tengah ketidakpastian ini, justru mereka yang fleksibel, haus belajar, dan tak takut gagal yang akan bertahan.

Namun perubahan seperti ini tak bisa ditanggung individu semata. Perlu dukungan nyata dari pemerintah, swasta, dan masyarakat luas. Infrastruktur pelatihan harus merata, akses internet harus murah dan cepat, dan literasi digital harus menjadi bagian dari kurikulum hidup. Jika tidak, jurang antara yang bisa bertahan dan yang tertinggal akan semakin dalam.

Setelah Lebaran, semangat baru memang harus dinyalakan. Tapi bukan hanya semangat bekerja—melainkan semangat berubah. Karena hidup yang baru tak datang dari langit. Ia dibentuk dari keberanian menghadapi kenyataan, dan tekad untuk tidak menyerah pada keadaan. Indonesia butuh bukan hanya pekerjaan baru, tapi cara pandang baru terhadap masa depan.

Pos terkait