Jakarta,KPonline – Sidang lanjutan pengujian formil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (24/8/2022).
Sidang permohonan Nomor 69/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian formil UU P3 ini diajukan oleh Partai Buruh dan sejumlah perorangan.
Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Presiden (Pemerintah) dan DPR. Pemerintah di wakili oleh Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Elen Setiadi. Sedangkan DPR berhalangan hadir.
Elen Setiadi menjelaskan pembentukan peraturan perundang-undangan dalam mendukung tercapainya arah dan tujuan nasional dilaksanakan secara terencana, terpadu, berkelanjutan dengan memperhatikan asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Guna mewujudkan peraturan perundang-undangan yang terencana, terpadu dan berkelanjutan diperlukan penataan dan perbaikan mekanisme peraturan perundang-undangan sejak perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan hingga pengundangan,” jelas Setiadi.
Pemerintah memahami bahwa penilaian atas kedudukan hukum merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil-dalil permohonan yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan UU P3, bahwa Pemerintah menerbitkan UU P3 justru dalam rangka melaksanakan amanat putusan MK dan memberikan kepastian hukum.
Berdasarkan Putusan MK No. 006/PUU-II/2005 dan Putusan MK No. 11/PUU-V/2007, Pemerintah secara tegas menolak kedudukan hukum para Pemohon karena tiga hal.
Pertama, para Pemohon tidak dapat memperlihatkan kerugian konstitusionalnya secara spesifik, faktual atau setidaknya bersifat potensial. Kedua, para Pemohon tidak dapat memperlihatkan hubungan sebab akibat antara kerugian dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.
“Ketiga, para Pemohon tidak dapat menunjukkan kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan terjadi lagi.
Setiadi melanjutkan, pada saat ini terjadi hyper regulation di Indonesia yang menyebabkan peraturan perundang-undangan saling tumpang tindih sehingga tidak menciptakan kepastian hukum.
Data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia per 4 Januari 2022 menyebutkan jumlah peraturan perundang‑undangan di Indonesia telah mencapai total 41.086 peraturan perundang‑undangan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagai regulasi pembentukan peraturan perundang‑undangan haruslah selaras dengan kebutuhan hukum di masyarakat termasuk mengatasi hyper regulasi tersebut.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang sebelumnya telah diubah dengan Undang‑Undang Nomor 15 Tahun 2019 dipandang perlu diperbaharui kembali agar tetap relevan di tengah perubahan kebutuhan hukum termasuk mengatasi keadaan hyper regulasi. Urgensi penyempurnaan Undang‑Undang 12/2011 juga berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang mengamanatkan untuk membentuk dasar hukum yang mengakomodasi metode omnibus dan partisipasi masyarakat yang lebih bermakna.
“Dengan demikian, Pemerintah kemudian memandang Perubahan Kedua terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menjadi penting dan relevan guna menjawab kebutuhan hukum dan penataan regulasi di Indonesia,” jelas Setiadi.
Menurut Pemerintah, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 telah memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juncto Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 dimana muatan substansi pembentukan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 telah memberikan kepastian hukum sebagai berikut: pengaturan metode omnibus untuk menjamin kepastian hukum; Perbaikan kesalahan teknis nonsubstansial setelah persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam rapat Paripurna dari sebelum pengesahan dan pengundangan
Memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna, meaningful participation, yaitu rights to be heard, rights to be considered, dan rights to be explained; Proses pembentukan peraturan perundang‑undangan yang dapat dilakukan secara elektronik
Mengubah sistem pendukung dari peneliti menjadi analis legislatif dan menambah sistem pendukung, yaitu analis hukum yang ruang lingkup tugasnya terkait pembentukan peraturan perundang‑undangan
Penyempurnaan teknik penyusunan naskah akademik; Penyempurnaan teknik pembentukan peraturan perundang‑undangan, sehingga melalui Undang‑Undang 13/2022, Pemerintah melakukan penyempurnaan terhadap Undang‑Undang 12/2011 juncto Undang‑Undang 15/2019 sebagai bagian dari pelaksanaan atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 69/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian formil UU P3 diajukan oleh Partai Buruh yang diwakili Said Iqbal dan Ferri Nuzarli, serta para Pemohon perorangan yaitu, Ramidi, Riden Hatam Aziz, R. Abdullah, Agus Ruli Ardiansyah, Ilhamsyah, Sunandar, Didi Suprijadi, serta Hendrik Hutagalung.
Said Iqbal dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (14/7/2022) menyebutkan pengesahan UU P3 dapat ‘menghidupkan kembali’ Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang telah diputus cacat formil oleh MK.
“Undang‑Undang P3 dalam pandangan kami adalah pintu masuk untuk membahas kembali Undang‑Undang Cipta Kerja yang secara keputusan Mahkamah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan cacat formil. Oleh karena itu, kami berkepentingan untuk memastikan Undang‑Undang P3 yang akan dijadikan pintu masuk untuk membahas kembali Undang‑Undang Cipta Kerja tersebut agar diputuskan oleh Yang Mulia Hakim Mahkamah secara formil maupun materiil dinyatakan tidak berlaku atau tidak sah,” tegas Said Iqbal. ( mk )