Jakarta, KPonline – Ekonom senior Rizal Ramli menyoroti kecilnya modal awal dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Menurutnya modal awal yang kecil sebagai bentuk ketidakseriusan pemerintah.
“Modal awal BPJS Rp 5 triliun, BPJS dirancang gagal finansial sejak awal,” ujar Rizal Ramli di Tebet, Jakarta, Rabu (14/11/2018).
Rizal Ramli juga menyoroti dana talangan (bailout) sebesar Rp 4,999 triliun untuk menutup defisit BPJS Kesehatan. Dana talangan ini hanya sebagai solusi sementara saja, tidak komprehensif.
“Solusi pemerintah sifatnya temporet, sementara hanya penyelesaian Tensoplast. Tidak memberikan solusi jangka panjang dan komprehensif,” ujar Rizal Ramli.
Rizal Ramli menambahkan Indonesia bukan negara pertama yang menerapkan sistem jaminan sosial nasional (SJSN). Prusia dan Skandinavia sudah membuat SJSN pada 1860-an yang menjadi tonggak sistem negara kesejahteraan (welfare state).
Rizal Ramli mengambil contoh Singapura di mana pengusaha membayar iuran sebesar 13% sementara pekerja menanggung iuran mulai dari gratis hingga 2%.
“CPF (sejenis Tapera) juga sebagai instrumen untuk countercyclical makroekonomi. Alat stabilisasi,” jelas Rizal Ramli.
Asal tahu saja, pada September lalu, pemerintah menyuntik BPJS Kesehatan Rp 4,999 triliun untuk menyelesaian defisit BPJS Kesehatan. Namun suntikan ini belum menyelesaikan semua masalahnya.
Menurut audit BPKP defisit BPJS Kesehatan sampai akhir tahun mencapai Rp 10 triliun. Adapun menurut manajemen defisit bisa mencapai Rp 16 triliun.
Rizal Ramli menawarkan solusi untuk memperkuat kinerja keuangan dan layanan BPJS Kesehatan. Sejak didirikan saban tahun BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit dan harus disuntik oleh pemerintah.
Rizal Ramli menawarkan empat solusi. Pertama, pemerintah harus menyuntikkan modal BPJS Kesehatan Rp 20 triliun. Saat ini Modal awal BPJS Kesehatan hanya Rp 5 triliun.
“Modal awal BPJS Rp 5 triliun, BPJS dirancang ‘gagal finansial’ sejak awal,” jelas Rizal Ramli dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (14/11/2018).
Kedua, revisi Undang-Undang BPJS soal besaran iuran. Rizal Ramli menyarankan iuran pekerja maksimal 2% dari pendapatan sementara perusahaan 6%. Besaran ini bisa disesuaikan berdasarkan tingkat pendapatan. Misalnya, di bawah upah minimum kerja di gratiskan.
Ketiga, penyesuaian pembayaran klaim penyakit kronis dan terminal yang disesuaikan dengan pendapatan pasien.
“Untuk penyakit menengah atas dan orang kaya, harus top up. Prinsipnya dari sisi penerimaan dan pembayaran harus cross subsidy,” tambah Rizal Ramli.
keempat, kembangkan komputerisasi dan sistem online untuk mengatasi pelayanan yang jelek, keluhan pekerja soal antrean panjang dan prosedur lama.
Sumber: cnbcindonesia.com