Di pagi yang masih menggigil, kabut belum sepenuhnya bubar dari jalan-jalan sempit di pinggir kota. Suara sepatu butut beradu dengan aspal, seperti detak jantung kolektif yang bersiap bersuara.
Namanya Sinta. Seorang buruh pabrik garmen yang telah menghabiskan separuh hidupnya di balik mesin jahit yang tak kenal lelah. Tangannya kasar, tetapi hatinya tak pernah pudar menyulam harapan. Sejak pagi, ia sudah menggenggam selembar kertas lusuh bertuliskan “Upah Layak Bukan Mimpi.” Di situ, ia menaruh suara yang selama ini dibungkam.
Hari itu, tanggal satu Mei, bukan hanya tanggal merah di kalender. Bagi Sinta dan ribuan lainnya, itu adalah hari saat suara mereka tak lagi sekadar bisik yang tertelan deru mesin, tapi teriakan yang menggema dari jalan-jalan hingga langit.
“Lepaskan rantai penindasan” suara lelaki tua di atas mobil bak terbuka bergema, mengguncang udara. Rambutnya sudah seputih kain kafan, tapi suaranya sekeras palu yang memukul baja.
Sinta ikut berseru. Di sekelilingnya, wajah-wajah yang sehari-hari dihitung sebagai angka produktivitas kini menyatu dalam irama perlawanan. Tak ada nama jabatan. Tak ada kelas. Hanya mereka, manusia yang menuntut keadilan.
Di pabrik, ia diajarkan untuk patuh. Untuk tunduk. Untuk tidak banyak tanya mengapa lembur dibayar setengah, mengapa rekan-rekannya satu per satu sakit, mengapa bos baru bisa beli mobil mewah sementara mereka harus memilih antara nasi dan ongkos pulang.
Tapi hari itu berbeda. Hari itu, jalanan adalah ruang sidang, dan suara mereka adalah vonis bagi sistem yang tak berpihak.
Matahari menyusup pelan di antara gedung-gedung tinggi, menyaksikan bagaimana api kecil yang mereka jaga dalam dada kini menjelma bara. Dan Sinta tahu, ini bukan akhir. Ini awal. Dari kebangkitan. Dari keberanian.
Hari Buruh bukan sekadar peringatan. Ia adalah janji. Bahwa selama ada yang ditindas, akan ada yang bersuara. Dan suara itu, hari ini, tak lagi berbisik.