Jakarta, KPonline – Rumah petak itu hanya ada satu pintu. Jika kamu masuk ke dalam, hanya ada dua ruangan. Satu ruang tamu merangkap kamar tidur, satu lagi ruangan untuk menyimpan barang-barang yang sekaligus difungsikan sebagai dapur. Kamar mandi ada di luar, berbarengan dengan pengghuni yang lain. Lokasinya tidak jauh dari Kawasan Industri Modern Cikande, Serang, Banten.
Anton tinggal di kontrakan itu bersama istri dan seorang anak yang baru kelas 3 Sekolah Dasar.
“Di deretan ini semuanya buruh yang bekerja di kawasan. Sebagian sudah tidak lagi bekerja karena habis kontrak atau di PHK,” Anton membuka obrolan, ketika menemuinya, Jum`at sore (30/8/2019). Tak berapa lama kemudian, istrinya muncul dari dapur dengan membawa dua cangkir kopi yang masih mengepul.
Anton adalah salah satu korban PHK. Untuk bertahan hidup, saat ini ia bekerja serabutan. Apa saja dikerjakan, asalkan bisa mendatangkan uang. Istrinya membantu dengan dagang kecil-kecilan di teras kontrakan. Tersedia makanan anak-anak seperti chiki-chikian dan aneka kebutuhan keluarga seperti sabun mandi.
“Orang sini kalau punya uang habis gajian belanjanya ke Alfa atau Indomaret. Giliran nggak punya uang baru ke sini, itu pun kasbon,” keluh istrinya. Saya hanya tersenyum. Cerita seperti ini hampir terjadi dimana-mana.
Bersama kawan-kawannya, Anton masih berjuang agar perusahaan tempatnya bekerja memberikan hak pesangon kepada buruh yang di PHK. Meski prosesnya sudah berjalan kurang lebih satu tahun, tetapi masih belum pasti berapa lama lagi ia akan mendapatkan hak-haknya.
“Mana harga-harga hampir semuanya naik,” suara Anton terdengar sebagai orang yang putus asa.
Kemudian kami membahas berbagai kebijakan seperti rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Belum lagi ada berita, listrik dan BBM juga bakal mengalami kenaikan. Jika itu terjadi, orang-orang seperti Anton inilah yang pertamakali akan merasakan dampaknya.
Apalagi, saat ini ia harus membayar iuran BPJS Kesehatan secara mandiri. Sejak di PHK, perusahaan menyetop iuran. Anton kesulitan untuk bisa masuk dalam ketegori Penerima Bantuan Iuran (PBI). Selain karena sebagai pendatang, ia juga dianggap mampu karena bisa membayar kontrakan.
“Padahal mah aslinya hancur luar dalam,” ia tertawa pahit.
“Suka-suka kalian saja, terserah iuran BPJS mau naik berapa,” lanjutnya. Kalimatnya tajam ditujukan kepada elit negeri ini. Kemudian dia melanjutkan, ada kemungkinan bakal stop bayar iuran.
Kalimat “suka-suka kalian” adalah sebentuk sikap pasrah sepasrahnya. Ekspresi dari seseorang yang kehilangan harapan. Kasarnya, mau dibunuh sekalipun, sudah tidak ada lagi daya dan upaya untuk melawan.
“Kalau nanti ada yang sakit gimana,” timpal saya.
“Biarin aja. Sekarang mah saya hanya bisa pasrah. Hidup mati urusan Allah.”
Mengingat Kembali Gagasan Besar Perjuangan KAJS
Mendengar jawaban Anton, saya terdiam. Ingatan saya berputar di era tahun 2010 – 2011, ketika bersama-sama Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) memperjuangkan jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat.
“Sehat hak rakyat.” Slogan inilah yang digaungkan KAJS. Karena kesehatan adalah hak rakyat, maka pemerintah wajib hadir untuk memastikan hak tersebut bisa didapatkan oleh seluruh rakyat, tanpa terkecuali. Dari sana KAJS mendesak adanya jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat yang melayani seluruh penyakit dari lahir hingga mati.
Dengan kata lain, tidak boleh ada lagi orang miskin yang ditolak berobat di rumah sakit. Tidak boleh ada lagi yang mati (maaf pengandaian ini terlalu kasar), seperti anjing kurap di pinggir jalan karena tidak mendapatkan pengobatan. Untuk itu, KAJS dan elemen masyarakat terus bergerak dan mendesak hingga kemudian UU BPJS disahkan, Oktober 2011.
Bulan depan, genap sewindu beleid itu disahkan. Tetapi pelaksanaan jaminan kesehatan masih banyak dikeluhkan. Apalagi dengan adanya wacana kenaikan iuran yang mencapai 100 persen, banyak orang khawatir kondisi yang sama seperti sebelum UU BPJS disahkan akan kembali terulang. Banyak orang miskin yang tidak mendapatkan pengobatan, karena jaminan kesehatan menjadi barang yang teramat mahal.
Untuk mengingatkan kembali bagaimana gagasan besar perjuangan reformasi jaminan sosial di Indonesia dilakukan, Said Iqbal (Presiden FSPMI-KSPI) dan Kahar S. Cahyono (Vice President FSPMI) menulit Buku Putih KAJS dengan judul BPJS Kesehatan Dalam Pusaran Kekuasaan.
Buku ini sekaligus menandai 8 (delapan) tahun UU BPJS Kesehatan disahkan. Ia sekaligus hendak menyampaikan pesan, bahwa reformasi jaminan kesehatan belum selesai. Ibarat kata, masih jauh panggang dari api.