Tak Ingin Dipahlawankan

Tak Ingin Dipahlawankan

Bogor, KPonline  -“Semangat ya Bang!” pekik penyemangat yang sering dilontarkan Ucup ketika bertemu atau bertatap muka dengan kawan-kawan sesama buruh. Wajahnya yang gelap karena begitu seringnya dia mengikuti berbagai aksi-aksi buruh, tapi pancaran keikhlasan hatinya dalam berjuang, membuat raut wajahnya lebih ceria dibandingkan dengan kawan-kawan buruh yang lainnya.

Laki-laki berusia 30an itu kembali ke barisan Garda Metal. Ada bunyi-bunyi yang cukup aneh terdengar dari dalam perutnya. Ucup lapar. Maklum saja, semenjak pagi Ucup sudah harus mengkoordinir kawan-kawan buruh yang tergabung dalam barisan Garda Metal. Melihat dan memperhatikan kesiapan fisik dan mental dari kawan-kawan Garda Metal yang akan berangkat menuju medan juang.

Bacaan Lainnya

Dan lembayung senja mulai menyapa sang sore. Ketika menjelang malam, pihak aparat sudah mulai memberikan peringatan, agar massa aksi membubarkan diri. Ratusan anggota Garda Metal tak bergeming selangkah pun, tetap berdiri dengan tegar, meski mereka sadar, bahwa pentungan rotan dan gas air mata sudah membayangi. Ribuan massa aksi mulai terprovokasi, ada penyusup dan provokator yang masuk kedalam barisan. Tak berapa lama kemudian terjadilah.

Ratusan anggota Garda Metal dipukuli, pentungan rotan mengayun cadas dengan keras menghantam puluhan buruh yang enggan berpaling muka. Asap perih nan pedih membuat Ucup kalang kabut. Matanya berair, seperti terbakar api. Tak sempat sarapan dan melewatkan makan siang, Ucup mulai gontai. Dan tiba-tiba, ada hantaman benda keras, tumpul yang menghantam punggung dan bahunya. Ucup terjerembab diatas aspal yang mulai basah dengan air dan sedikit ceceran darah.

Dibawah pohon asem dekat persimpangan jalan, Ucup dan kawan-kawan sesama pengemudi transportasi online berkumpul dan memperhatikan layar smartphone masing-masing. Menunggu order yang masuk, berharap ada pelanggan yang menggunakan jasa layanan transportasi online. Dari kejauhan, Siti, Lia, Adun, Herman, Waginah dan beberapa orang lainnya mulai mendekati Ucup. Mengendap-endap seperti ingin menyergap Ucup, yang sedari tadi sibuk dengan smartphone miliknya.

“Bang..Bang Ucup..” sapa Siti. Ucup menoleh dan menatap nanar wajah kawan-kawan buruh yang dulu seperjuangan dengan dirinya. “Hai..apa kabar kalian? Sehat-sehat yaa?” senyum simpul yang tersembul dari sudut bibir Ucup, menyambut kedatangan mereka.

Beberapa menit berbasa-basi sudah lumrah bagi Ucup. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya Ucup sambil memandang wajah Adun dan Herman. Para wanita tiba-tiba menundukkan kepala, pun begitu dengan Adun dan Herman. “Kami kesini mau mengantarkan titipan kawan-kawan pabrik” lirih Herman sambil menyerahkan amplop coklat, tebal dan agak lecek dibagian pinggirnya.

“Ucapan terima kasih dari kawan-kawan Bang Ucup” Lia berucap lirih sambil mencolek paha Waginah yang sejak kedatangan hanya berdiam diri. “Iya Bang, ucapan terima kasih” Waginah terkejut dicolek Lia.

Ucup terdiam sambil memandang wajah kawan-kawannya yang masih menjadi buruh, dan diwaktu lampau pernah berjuang bersama-sama. Ucup tak mampu berkata-kata. Satu menit hampir berlalu, dan bibir Ucup seakan-akan terkunci. Enggan berkata-kata atau memang sudah seharusnya tanpa perlu berucap lagi, kawan-kawannya mengerti.

“Tidak perlu berterima kasih kepada saya. Berterima kasihlah kepada Tuhan. Memang ini sudah jalannya. Tidak ada yang perlu saya sesali. Pun begitu dengan kalian” Ucup mengucapkannya dengan lirih dan terbata-bata.

“Jangan kalian tanya, saya ikhlas atau tidak. Hanya Tuhan yang tahu. Yang pasti, saya bukan pahlawan, apalagi ingin dipahlawakan. Saya sudah berbuat apa yang saya bisa, sebisa yang saya mampu” lanjut Ucup dan kali ini, amplop berwarna coklat tersebut, diselipkan kembali ke tangan Herman. “Berikan kepada yang lebih berhak. Rezeki saya mudah-mudahan cukup” laksana disambar petir disiang bolong, kata-kata Ucup yang terakhir cukup pedas dan menampar relung isi hati yang terdalam bagi siapa saja yang mendengarnya.

Ucup tak ingin menjadi pahlawan, apalagi bercita-cita menjadi pahlawan. Ucup pun tak ingin dipahlawankan atau dianggap sebagai pahlawan. Ucup hanya ingin memberi apa yang ia punya, melakukan apa yang ia bisa lakukan, dan memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Ucup melakukan kebaikan dan Ucup pun langsung melupakan.

(RDW)

Pos terkait