Tantangan Pengupahan di Indonesia

Tantangan Pengupahan di Indonesia
Sumber: YouTube Bicaralah Buruh

Jakarta, KPonline – Isu pengupahan selalu menjadi perhatian utama dalam pergerakan buruh di Indonesia. Sejak lama, upah minimum menjadi topik yang terus dibahas dalam aksi-aksi buruh serta negosiasi antara serikat pekerja, pemerintah, dan pengusaha. Namun, meskipun aksi dan diskusi mengenai upah minimum terus berlangsung, kesejahteraan buruh di Indonesia masih jauh dari harapan. Ini tercermin dari pernyataan Ketua Umum FSP Farkes Reformasi, Evi Krisnawati, yang mengungkapkan, “Dari semua orang mengatakan masih jauh dari layak, apalagi setelah musuh buruh bersama, yaitu omnibus law, membuat kawan-kawan buruh mengalami kesulitan mendapatkan upah yang baik.”

Salah satu masalah utama yang diangkat adalah ketidakadilan dalam penetapan upah minimum di Indonesia. Banyak buruh masih menerima upah minimum, meskipun mereka telah bekerja lebih dari satu tahun. Sesuai dengan peraturan, upah minimum sebenarnya hanya berlaku bagi pekerja lajang yang baru bekerja kurang dari satu tahun.

Namun, dalam praktiknya, “Upah minimum sering kali menjadi upah maksimum yang diterima oleh buruh, bahkan bagi mereka yang sudah bekerja bertahun-tahun,” jelas perempuan yang juga menjabat sebagai Sekretaris Dewan Pertimbangan Organisasi KSPI ini. Situasi ini semakin memperparah kesulitan hidup bagi para buruh yang hidup mandiri, seperti lajang yang harus menyewa tempat tinggal dan menanggung semua biaya hidup sendiri.

Evi juga menyoroti betapa sulitnya memperjuangkan kenaikan upah yang layak. Negosiasi antara serikat pekerja dan perusahaan sering kali hanya menghasilkan kenaikan upah yang sebatas mengikuti tingkat inflasi, yang pada kenyataannya tidak memberikan perbaikan nyata bagi kesejahteraan buruh.

“Sering kali yang diberikan hanya kenaikan berdasarkan inflasi, itu bukan kenaikan yang sebenarnya,” kata Evi. “Harusnya kenaikan upah itu lebih tinggi dari inflasi untuk benar-benar memberikan peningkatan daya beli.”

Selain itu, Evi menyoroti disparitas upah yang mencolok antarwilayah. Misalnya, upah minimum di Jawa Tengah dan Jawa Timur jauh lebih rendah dibandingkan dengan Jakarta atau Bekasi. Ironisnya, meskipun upah di Jawa Tengah lebih rendah, tingkat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di wilayah tersebut justru tinggi.

“Ternyata di Jawa Tengah juga ada PHK, terus kita lari ke mana nih? Kan gitu ya,” ujar Evi, mengungkapkan betapa janji pemerintah bahwa perusahaan akan pindah ke wilayah dengan upah lebih murah tidak selalu benar. Kenyataannya, bahkan di wilayah dengan upah rendah seperti Jawa Tengah, buruh masih menghadapi risiko PHK yang tinggi.

Kondisi ini semakin diperburuk oleh kebijakan Omnibus Law yang memukul keras posisi tawar buruh. “Omnibus law membuat buruh semakin sulit mendapatkan upah yang layak,” tegas Evi. Kebijakan ini memberikan fleksibilitas lebih besar kepada pengusaha dalam menetapkan upah dan memberlakukan sistem kerja kontrak, yang pada akhirnya sangat merugikan buruh.

Lebih lanjut, hasil survei mengenai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dilakukan serikat pekerja di beberapa wilayah menunjukkan bahwa biaya hidup di Jakarta, Bekasi, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebenarnya tidak terlalu berbeda, terutama untuk kebutuhan pokok seperti sayuran dan ikan.

“Kita kira di Jawa Tengah itu pasti lebih murah, tapi setelah saya lihat ternyata harganya enggak jauh beda dengan Jakarta atau Bekasi,” ujar Evi. Hal ini menambah pertanyaan mengapa disparitas upah di Indonesia begitu besar, padahal kebutuhan hidup di berbagai daerah tidak terlalu berbeda.

Serikat pekerja berharap pemerintah dapat lebih menggunakan “hati nurani” dalam menetapkan kebijakan upah, serta memperhitungkan realitas kebutuhan hidup buruh. Evi berharap ada kenaikan upah yang lebih signifikan ke depannya.

“Harapan kami, pemerintah bisa menaikkan upah setidaknya 10 sampai 15%,” jelasnya, mengingatkan bahwa dengan kenaikan yang terlalu kecil seperti yang terjadi selama beberapa tahun terakhir, buruh tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi di tengah inflasi dan kenaikan harga barang.