Jakarta, KPonline – Alih-alih melakukan pengampunan, kaum buruh menghendaki pemerintah melakukan penegakan hukum dibidang perpajakan dengan jalan memberikan sanksi bagi mereka yang selama ini mengemplang pajak. Selama ini, buruh taat membayar pajak yang dipotong langsung dari gaji mereka. Sementara ada orang yang tidak membayar pajak dan diberikan pengampunan.
Hal lain yang lebih menyakitkan, buruh ditekan upahnya dengan PP 78/2015. Sementara, bagi pengusaha, selain diberikan aneka paket kebijakan investasi dan berbagai kemudahan, juga berpeluang mendapatkan pengampunan atas pajak yang selama ini tidak mereka bayar. Tentu saja, ini mengangkangi prinsip keadilan.
Terkait dengan pentingnya penegakan hukum juga disampaikan Direktur Eksekutif Pusat Analisis Perpajakan Indonesia (CITA), Yustinus Prastowo. Murut Prastowo, Pemerintah punya pekerjaan rumah untuk mewujudkan reformasi pajak dan melakukan penegakan hukum yang kuat dan tegas. Jika pemerintah berhenti pada tax amnesty, ini yang bahaya. Adapun bahaya yang dimaksud Prastowo adalah para wajib pajak menjadi semakin leluasa untuk menghindari pajak serta memiliki persepsi bahwa pemerintah lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk menindak mereka.
Sementara itu, Maryati Abdullah dari lembaga Publish What You Pay menyoroti demoralisasi para wajib pajak dari kelas menengah ke bawah akibat pengampunan pajak orang-orang berduit.
“Dalam jangka panjang, pengampunan pajak ini bisa mendemoralisasi kepatuhan dari para pembayar pajak. Karena ternyata negara lebih memfasilitasi orang-orang kaya yang tidak patuh. Menurut saya ini menyakitkan hati publik,” ujarnya, seperti diberitakan BBC Indonesia.
Beberapa orang yang saya wawancarai di jalan mengamininya. Mereka mengutarakan keprihatinan atas pengampunan yang diberikan pemerintah terhadap warga Indonesia yang menghindari pajak.
“Saya karyawan biasa yang setiap bulan dipotong gajinya untuk bayar pajak ke negara. Lalu negara justru mengampuni orang-orang yang mengemplang pajak? Ini tidak adil,” kata Susi, yang ditemui di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat.
Hartanto, yang bekerja di sebuah bank asing, lebih kritis. Menurutnya, tarif tebusan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak sangat kecil dibandingkan dengan aset yang dibawa warga Indonesia ke luar negeri demi menghindari pajak di Indonesia.
“Dengan tarif yang ditetapkan, ibaratnya kita ingin mendapatkan sesuatu yang kecil tapi memberi kelonggaran begitu besar kepada pengusaha yang membawa aset ke luar negeri,” kata Hartanto.
Sementara itu, pengamat ekonomi politik Salamuddin Daeng mengatakan, tax amnesty merupakan suatu hukuman bagi orang baik. Bagi pembayar pajak yang taat. Bagi orang yang bisnis bersih. Bagi orang yang tidak korupsi. Karena apa? Karena seorang pembayar pajak yang tidak taat, seorang koruptor, seorang pelaku kejahatan kriminal, memperoleh perlakuan yang istimewa dengan mendapatkan amnesty dan dilegalisasi aset-aset mereka.
Jadi, orang baik diberikan hukuman dalam tax amnesty. Padahal dia taat. Sementara yang tidak taat terus diberi keleluasaan. Bahkan, sampai saat ini pembayar pajak yang taat masih tetap dipungut pajaknya sebagaimana undang-undang yang berlaku. Sementara pembayar pajak yang tidak taat mendapatkan pengampunan.
Sebagian besar dari kita tetap bayar pajak sebagaimana biasanya, tetapi ada orang yang tengah mendapatkan pengampunan. Kalau undang-undang ini bersifat adil, maka seluruh orang saat ini mestinya membayarkan pajak 2%. Sesuai dengan besarnya tebusan dalam tax amnesty. (*)
Fotografer: Eddo Dos’Santoz
Sumber:
(1) Pengampunan Pajak: mendatangkan uang atau mengampuni pengemplang.
(2) Tax Amnesty Merupakan Hukuman Bagi Orang Baik.