Terbitnya Perpres Pengganti undang-undang tentang hukuman mati Bagi Koruptor, Menuai Pro Dan Kontra

Terbitnya Perpres Pengganti undang-undang tentang hukuman mati Bagi Koruptor, Menuai Pro Dan Kontra

Pelalawan, KPonline – Maraknya kasus mega korupsi dengan nominal yang sangat fantastis, penerapan hukuman mati bagi koruptor selalu menjadi perdebatan sengit dan menjadi perbincangan di kalangan masyarakat indonesia, mengenai itu masih banyak timbuk antara pro dan kontrak untuk hukuman tersebut, Jum’at (14/03/2025).

Sebagian orang melihatnya sebagai solusi paling efektif untuk menekan angka korupsi yang sudah mengakar di Indonesia, sementara yang lain menganggapnya sebagai langkah yang terlalu ekstrem dan bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM). Namun, bagaimana jika hukuman ini diberlakukan berdasarkan nominal yang dikorupsi? Jika seorang pelaku korupsi mengambil uang negara di bawah Rp10 juta, ia dijatuhi hukuman penjara 1-10 tahun dengan denda 20 kali lipat dari nominal yang dikorupsi. Namun, jika jumlah yang dikorupsi melebihi Rp10 juta, maka hukuman mati dapat diterapkan.

Bacaan Lainnya

Pendekatan ini bertujuan untuk membedakan antara korupsi kecil dan besar. Dalam praktiknya, tidak semua kasus korupsi memiliki dampak yang sama. Misalnya, seorang pegawai kecil yang tergoda untuk mengambil beberapa juta rupiah dari kas kantor tidak bisa disamakan dengan pejabat tinggi yang menggelapkan miliaran rupiah. Hukuman yang lebih ringan bagi koruptor dengan jumlah kecil tetap memberikan efek jera, sementara hukuman mati bagi korupsi besar menegaskan bahwa negara tidak main-main dalam memberantas kejahatan ini.

Selain itu, hukuman denda 20 kali lipat dari nominal yang dikorupsi akan memberikan beban finansial yang berat bagi pelaku, sehingga mereka berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan serupa. Dengan cara ini, negara tidak hanya menghukum secara fisik tetapi juga memastikan bahwa uang yang dicuri bisa dikembalikan dalam jumlah yang lebih besar. Ini bisa menjadi solusi yang lebih adil dibandingkan sekadar memenjarakan seseorang tanpa upaya pemulihan kerugian negara.

Namun, kebijakan ini tentu masih memiliki tantangan besar, terutama dalam aspek penegakan hukum. Sistem peradilan yang masih memiliki banyak celah korupsi bisa saja dimanfaatkan oleh para pelaku untuk menghindari hukuman berat dengan cara memperkecil nominal yang tercatat dalam kasus mereka. Oleh karena itu, transparansi dan pengawasan ketat harus menjadi bagian integral dari sistem ini agar tidak ada manipulasi dalam penerapan hukum.

Di sisi lain, ada pertanyaan besar apakah hukuman mati benar-benar efektif dalam memberantas korupsi. Beberapa negara yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor, seperti China, masih menghadapi kasus-kasus besar setiap tahunnya. Ini menunjukkan bahwa hukuman mati bukan satu-satunya solusi, tetapi harus didukung dengan reformasi sistemik, mulai dari penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga perbaikan birokrasi agar lebih transparan dan akuntabel.

Pendekatan berbasis nominal ini juga harus mempertimbangkan faktor-faktor lain, seperti apakah korupsi dilakukan secara individu atau sistemik. Seorang bawahan yang dipaksa oleh atasan untuk melakukan korupsi bisa jadi lebih pantas mendapatkan hukuman ringan dibandingkan otak di balik skandal besar yang melibatkan dana triliunan rupiah. Diferensiasi semacam ini penting agar kebijakan yang diterapkan benar-benar adil dan tidak hanya memberikan kesan populis semata.

Pada akhirnya, hukuman bagi koruptor haruslah bersifat proporsional, tegas, tetapi tetap mempertimbangkan aspek keadilan dan efektivitas dalam jangka panjang. Hukuman mati bagi korupsi besar bisa menjadi langkah preventif yang kuat, tetapi harus didukung dengan reformasi hukum dan politik yang lebih luas. Jika negara hanya mengandalkan ancaman hukuman tanpa membenahi sistem, maka korupsi akan tetap menjadi penyakit kronis yang sulit diberantas.

Penulis: Heri

Pos terkait