Surabaya KPonline – “Mesin Kalkulator” menjadi julukan terbaru untuk Gubernur Jawa Timur Soekarwo pasca dirinya menetapkan Upah Minimum Provinsi yang hanya sebesar Rp.1.630.059,05 (sesuai dengan PP78/2015) pada hari ini Kamis 1 November 2018.
Julukan tersebut disematkan oleh KSPI Jawa Timur lantaran sebagai kepala daerah dirinya dinilai tidak peduli dengan nasib rakyat yang dipimpinnya, padahal dia bisa menjadi seorang Gubernur karena dipilih oleh rakyat Jawa Timur untuk bisa meningkatkan kesejahteraan .
Meski berdalih bahwa penetapan ini hanya formalitas saja, namun begitu jelas terlihat bahwa Pemerintah Jawa Timur sudah tuli pada aspirasi kaum buruh dan memilih mengamankan jabatan dan posisi politik dibandingkan mengedepankan nasib rakyatnya, lalu apa gunanya punya gubernur?
Pada Senin 29 Oktober 2018 lalu Dewan Pengupahan unsur Pekerja telah mengusulkan UMP sebesar Rp 2.030.059.05 guna mempersempit Disparitas Upah di Jawa Timur.
Alasan lain juga sempat dikemukakan oleh DPW FSPMI Jatim Ardian Safendra saat aksi 29 Oktober lalu bahwa Gubernur harus menyadari jika pada awal penetapan UMP 2016 yang menjadi dasar UMP selanjutnya tidak pernah dilakukan Survey KHL dengan peningkatan kualitas.
Sehingga nilai yang dihasilkan adalah nilai fiktif yang tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan, mengingat nilai awal yang jauh dari kata layak tetap menjadi dasar perhitungan UMP selanjutnya maka akhirnya Disparitas Upah pun menjadi sangat jauh .
Namun ternyata usulan dari kaum buruh sama sekali tidak perhatikan, argumentasi yang sudah disampaikan hanyalah angin lalu di telinga Pemprov Jatim. Dan kini UMP Jawa Timur menjadi Setara dengan UMP Jawa Tengah yang sebesar Rp 1.605 juta.
koordinator Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jawa Timur, Jazuli mengaku sangat kecewa dengan penetapan UMP Jawa Timur yang hanya sebesar Rp.1,6 juta. Padahal UMP itu nantinya menjadi dasar penetapan UMK terendah di Jawa Timur, sehingga persoalan disparitas upah buruh yang terlalu jauh dinilai mengabaikan kondisi realitas masyarakat dan tak memenuhi azas kepatutan.
Kaum buruh di Jatim, lanjut Jazuli sebagian besar mengaku kecewa dengan kepemimpinan Gubernur Jatim Soekarwo karena selama 4 tahun terakhir. Alasannya, disparitas upah kabupaten/kota di Jatim belum tertangani dengan baik. Bahkan Pemprov Jatim terkesan sengaja mempolitisasi UMK dengan tunduk dibawah Surat Edaran Menakertrans. Padahal UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan masih berlaku.
“Pakde Karwo (sapaan akrab Soekarwo) tak punya keberanian politis melawan SE Menakertrans, sehingga peran Gubernur hanya menjadi mesin kalkulator menghitung pertumbuhan dan inflasi untuk dasar penetapan upah yang berlaku tahun depan. Ini jelas kemunduran upah sebab tahun depan inflasi maupun pertumbuhan bisa saja berubah, sehingga UMP ini tak bisa dijadikan patokan,” tegas Jazuli.
Diakui Jazuli, pihaknya bersama serikat pekerja lain yang ada di Jatim tengah melakukan upaya menggugat penetapan UMP Jatim 2019 dan persiapan aksi demo untuk mendesak Gubernur Jatim segera memberlakukan upah buruh yang sesuai dengan realitas kebutuhan masyarakat sehingga bisa meminimalisir disparitas upah di Jatim.
(Khoirul Anam/Jawa Timur)