Jakarta, KPonline – Seorang buruh PT. Gas SS yang tertidur akibat kelelahan setelah 12 jam bekerja, justru di di PHK sepihak oleh pihak pengusaha. Bahkan tanpa ada proses surat peringatan.
Pekerja tersebut, Edy Purwanto, merupakan anggota PUK SPAI FSPMI PT. Gas SS.
Saat ini, serikat pekerja sedang melakukan pembelaan terhadap Edy Purwanto. Perselisihan ini bergulir di tingkat mediasi Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Selatan.
“Mediasi sudah kita lakukan di Sudinakertrans Jakarta Selatan pasca buntunya perundingan bipartit dengan pengusaha,” ujar Sekretaris PUK SPAI FSPMI PT. Gas SS, Suryanto.
Pengusaha seperti sengaja mencari kesalahan pekerja karena ketiduran melewati waktu istirahat dan di PHK tanpa ada proses surat peringatan. Padahal si pekerja sudah bekerja 12 jam bekerja.
Jelas sekali, apa yang dilakukan pihak pengusaha merupakan sebuah pelanggaran yang serius. Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan, dalam sehari, pekerja hanya boleh bekerja selama 8 jam. Jika lembur harus ada persetujuan dari pekerja yang bersangkutan.
Selain itu, waktu lembur pun dibatasi. Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi: Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat: (a) ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan (b) waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
Dengan demikian, ketika pekerja bekerja selama 12 jam, maka dia sudah lebih 4 jam dari waktu normal yang diperbolehkan bekerja. Di sini ada pelanggaran yang diduga dilakukan pihan perusahaan.
Dalam hal ini, Perusahaan yang melanggar ketentuan maksimal waktu lembur ini dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5 juta dan paling banyak Rp 50 juta.
Selain durasi jam kerja, PHK yang dilakukan perusahaan juga merupakan sebuah kesalahan. Sebab, tidak ada kesalahan yang bisa langsung di PHK.
Pada awal diundangkanya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), salah satu alasan Pemutusan Hubungan Kerja adalah, karena “kesalahan berat”, yang diatur dalam ketentuan Pasal 158. Namun demikian, ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan ini dinilai oleh pihak pekerja dan serikat pekerja telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, serta melanggar azas praduga tidak bersalah (preassumption of innocence). Berdasarkan alas hukum tersebut maka dilakukan permohonan hak uji materi UU Ketenagakerjaan.
Atas permohonan pekerja dan serikat pekerja, Mahkamah Konsitusi (MK) menjatuhkan putusan No.012/PUU-I/2003, tertanggal 28 Oktober 2004, yang amar putusannya pada pokoknya menyatakan ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Dengan demikian, tidak ada lagi yang namanya kesalahan berat. Apalagi, tidur di saat jam kerja, bukanlah kesalahan berat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 158. Maka sudah seharusnya jika Edy Purwanto dipekerjakan kembali.
Penulis: Mubarok