Tidak Ada yang Suka Pajaknya Dikorupsi

Tidak Ada yang Suka Pajaknya Dikorupsi
Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menggelar unjuk rasa di depan gedung DPR RI, Jalan Gatot Soebroto, Senayan, Jakarta. Salah satu tuntutan yang disuarakan adalah 'Bongkar Mafia Pajak'. Foto: RMOL

“Belum persepsi dan pandangan publik kepada kita. Tidak ada orang, siapapun, yang senang dipajaki, tidak ada. Tapi ini adalah tugas konstitusi dan tugas negara.” Menteri Keuangan Sri Mulyani, detik.com (14/7).

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa tidak ada orang yang senang dipajaki. Saya rasa, ini adalah pernyataan yang mungkin benar secara umum. Namun demikian, perlu dipahami dalam konteks yang lebih luas, terutama dari perspektif kelas pekerja.

Pajak memang kontribusi yang wajib diberikan oleh setiap warga negara untuk membiayai kebutuhan negara. Namun, yang seringkali menjadi masalah adalah bagaimana pajak tersebut digunakan. Dari sudut pandang buruh, saya ingin menyoroti beberapa poin penting terkait pengelolaan pajak, korupsi, dan dampaknya terhadap masyarakat kecil.

Korupsi Pajak: Menyia-nyiakan Kontribusi Rakyat

Tidak ada yang suka pajaknya dikorupsi. Setiap tahun, triliunan rupiah yang dikumpulkan dari pajak masyarakat hilang begitu saja karena praktek korupsi yang mengakar dalam berbagai lembaga pemerintah. Korupsi ini tidak hanya mengurangi efektivitas pengumpulan pajak tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara. Masyarakat kecil yang sudah berjuang untuk membayar pajak mereka merasa dikhianati ketika melihat uang mereka digunakan untuk memperkaya segelintir pejabat dan bukan untuk kesejahteraan mereka.

Sebagai contoh, kasus korupsi pajak yang melibatkan beberapa pejabat tinggi Direktorat Jenderal Pajak telah menunjukkan betapa sistem pajak kita masih rentan terhadap penyalahgunaan. Uang yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan layanan publik, infrastruktur, dan kesejahteraan sosial malah jatuh ke tangan yang salah. Ini adalah ironi yang sangat menyakitkan bagi kami yang bekerja keras setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membayar pajak.

Selain korupsi, banyak juga yang merasa bahwa pajak mereka tidak digunakan dengan bijak, terutama ketika digunakan untuk menggaji aparat yang kemudian membuat kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Kebijakan-kebijakan yang dibuat sering kali lebih menguntungkan perusahaan besar dan pemilik modal daripada masyarakat kecil dan buruh. Misalnya, pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja yang banyak dikritik karena lebih menguntungkan pengusaha dan mengurangi perlindungan bagi pekerja.

Sebagai serikat buruh, kami seringkali menghadapi kebijakan yang merugikan pekerja. Kebijakan yang tidak berpihak ini mencakup pengurangan hak-hak pekerja, ketidakadilan dalam sistem ketenagakerjaan, dan ketidakjelasan dalam penerapan undang-undang ketenagakerjaan. Ketika aparat yang digaji dari pajak rakyat membuat kebijakan yang tidak adil, kami merasa bahwa pajak kami tidak digunakan untuk kepentingan bersama tetapi untuk kepentingan segelintir orang.

Selain itu, pajak seharusnya digunakan untuk pembangunan yang inklusif dan merata. Namun, kenyataannya pembangunan seringkali tidak merata dan tidak memperhatikan kebutuhan rakyat kecil. Banyak proyek infrastruktur besar yang menghabiskan anggaran besar tetapi tidak memberikan manfaat langsung bagi masyarakat kecil. Sebaliknya, banyak desa dan daerah terpencil yang masih kekurangan infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, dan air bersih.

Sebagai contoh, pembangunan jalan tol yang menghubungkan kota-kota besar memang penting, tetapi bagaimana dengan desa-desa yang masih kesulitan akses transportasi? Bagaimana dengan masyarakat yang masih harus berjalan kaki berjam-jam hanya untuk mendapatkan air bersih? Pembangunan yang tidak inklusif ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal kita masih bias terhadap kepentingan elit dan mengabaikan kebutuhan dasar rakyat kecil.

Pajak yang Berpihak pada Rakyat

Untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil, perlu ada reformasi besar dalam pengelolaan pajak dan kebijakan fiskal. Pertama, perlu ada langkah-langkah tegas untuk memberantas korupsi pajak. Setiap rupiah yang dikumpulkan dari pajak harus dipastikan sampai ke kas negara dan digunakan untuk kepentingan publik. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pajak harus ditingkatkan.

Kedua, perlu ada evaluasi terhadap gaji dan insentif bagi aparat pemerintah. Gaji yang layak memang penting untuk menjamin kinerja yang baik, tetapi harus diimbangi dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil. Aparat yang digaji dari pajak rakyat harus bertanggung jawab untuk membuat kebijakan yang adil bagi semua.

Ketiga, perlu ada kebijakan pembangunan yang inklusif dan merata. Setiap proyek pembangunan harus memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat kecil dan memastikan bahwa manfaatnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan yang berkelanjutan dan adil adalah kunci untuk mewujudkan kesejahteraan bagi semua.

Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa tidak ada yang senang dipajaki adalah benar, tetapi lebih penting lagi adalah memastikan bahwa pajak yang dikumpulkan digunakan dengan bijak dan adil. Sebagai aktivis serikat buruh, kami menuntut pengelolaan pajak yang transparan, kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil, dan pembangunan yang inklusif. Pajak adalah kontribusi kita untuk negara, tetapi negara juga harus memastikan bahwa kontribusi tersebut digunakan untuk kepentingan kita semua, bukan hanya untuk segelintir orang. Hanya dengan demikian, kita bisa mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden FSPMI, Wakil Presiden KSPI, dan Pimpinan Redaksi Koran Perdjoeangan