Parjo berada dibelakang kemudi mobil mini bus dengan box niaga milik Joko sambil menghisap sebatang rokok kretek. Melaju dengan kecepatan dibawah 40 km per jam, terlihat santai dan tidak tergesa-gesa. Maklum saja, kondisi lalu lintas dan kepadatan kendaraan bermotor di hari-hari Lebaran, suasana Ibukota masih sangat terasa lengang. Disampingnya, terlihat Joko termenung, menatap siluet-siluet masa lalu. Sorot matanya terlihat hampa, meskipun sesekali menyemburkan asap tembakau dari rokok putih yang terselip dibibirnya yang mulai menghitam.
Parjo bimbang dan ragu, raut wajahnya memancarkan kecemasan. Seperti ada pertanyaan yang berputar-putar didalam otaknya. Sesekali ia menatap majikannya yang nampak lelah pikirannya. Parjo paham, majikannya pun mempunyai segudang masalah, hampir sama dengan dirinya. Atau bahkan mungkin lebih berat dari yang ia rasakan.
Baca Juga : Tidakkah Kalian Rindu Kampung Halaman ? (Bagian 2)
“Boss..Boss..” Parjo mulai membuka pembicaraan. “Hhmmm” sedikit agak malas Joko menanggapi panggilan anak buahnya. “Boss nggak mudik?” tanya Parjo dengan hati-hati. Butuh beberapa detik bagi Joko untuk menjawab pertanyaan Parjo. Menghela nafas yang cukup dalam, Joko akhirnya membuka bibirnya. “Pengen sih Jo. Tapi..” kembali Joko menerawang. Joko menatap langit melalui jendela mobil box miliknya. Ada sesuatu hal yang disembunyikan oleh Joko. Dan ia enggan untuk mengutarakan kepada siapapun. Kecuali Narsih istrinya.
“Boss.. Saya pengen mudik. Ibu saya kan sendirian dikampung. Nggak tega rasanya kalo sampe Lebaran aja saya nggak pulang” pinta Parjo kepada majikannya dengan penuh harap. Pulang. Kata itu sungguh menusuk relung hati Joko yang paling dalam. Rasa-rasanya sudah bertahun-tahun Joko tidak pulang ke kampung halamannya. Sudah lama sekali. Dan Joko pun akhirnya terlelap dalam lelahnya, setelah seharian berniaga di pasar.
Alam bawah sadarnya mulai melayang. Pikirannya mulai menapaki dimensi alam bawah sadar, menuju alam mimpi. Jiwanya melayang menelusuri jejak-jejak langkah masa lalunya. Masa kecil, masa remaja, hingga akhirnya ia harus meninggalkan kampung halamannya menuju kota. Kembali ke sawah bersama bapaknya, Pak Wasisto, mencangkul dan membajak disawah. Bermain-main air dan memancing ikan di kali. Sungguh indah rasanya. Bebas, lepas tanpa beban. Masa dan waktu terus bergulir, hingga akhirnya ia menemukan Narsih, sang gadis pujaan hati.
Situasi dan keadaanlah yang mendorong Joko untuk meninggalkan kampung halamannya, kampung halaman mereka berdua. Faktor kebutuhan dan keinginan yang memaksa Joko dan Narsih meninggalkan desa mereka. Hingga akhirnya Joko melihat bayang-bayang masa lalunya. Disaat Pak Wasisto menasehati Joko, agar tidak meninggalkan bapak ibunya dikampung. Bayang-bayang itu begitu jelas, sangat jelas dan sangat membekas, begitu terasa seperti ketika Pak Wasisto menampar pipi Joko.
“Tak mengapa kita hidup dalam kemiskinan, asalkan kita semua tetap berkumpul disini, dikampung ini. Daripada kalian ke kota, dan akan melupakan dari mana kalian berasal” tegas Pak Wasisto kepada Joko, 20 tahun yang lalu. “Saya nggak bisa terus-terusan hidup dalam kemiskinan seperti ini Pak. Saya nggak mau. Saya mau punya rumah, saya mau punya mobil, saya mau segala yang saya inginkan Pak !” amarah Joko memuncak disaat Pak Wasisto menasehati Joko. Dan plakkk ! Tangan kanan Pak Wasisto sudah mendarat dipipi kiri Joko. Raut wajah Pak Wasisto memerah, menampakkan amarah yang begitu berapi-api. Jari telunjuk tangan kanannya mengarah ke wajah Joko, “Silahkan kamu angkat kaki dari rumah ini. Silahkan kamu pergi dari kampung ini, tapi ingat ! Jangan pernah lupa darimana kamu berasal !
Sebuah cangkuk tua diraih Pak Wasisto, dan tanpa menoleh sedikit pun, Pak Wasisto pergi meninggalkan rumah tanpa berkata-kata, tanpa mengucapkan salam dan tanpa penyesalan. Joko hanya bisa terdiam, pun begitu dengan Narsih. Digenggamnya dengan erat jari-jemari lelaki yang saat itu sudah menjadi suaminya. ” Sabar Mas, mungkin Bapak sedang banyak pikiran” sambil mengelus-elus punggung suaminya, berharap ada kesabaran yang tersisa dihati suaminya.
Bu Sutini yang sedari tadi menyaksikan kejadian tadi, hanya bisa meneteskan air mata dibalik pintu kamar yang tertutup gordyn batik. Terdengar suara tangisan tersedu-sedu. Joko dan Narsih melangkahkan kakinya menuju asal suara. Mereka berdua merasa perlu dan merasa penting untuk berpamitan dengan sang Ibu.
“Bu..Saya pamit yaa. Kalau saya berhasil jadi orang kan Ibu juga yang bangga” lirih Joko seraya memegang dinding pintu yang terbuat dari kayu jati tua yang terlihat masih sangat kokoh. Beberapa saat mereka menunggu jawaban, tak kunjung juga didapatkan. Joko menatap Narsih, “Sepertinya kita harus pergi tanpa restu orang tua, Dik” ujar Joko kepada sang Istri. Sambil mengapit sebuah tas besar dan menenteng dua buah kardus bekas mie instan, Joko dan Narsih beranjak meninggalkan Bu Sutini yang masih berada didalam kamar. Baru saja akan melangkahkan kaki menuju pintu keluar, suara Bu Sutini menghentikan langkah kaki mereka.
“Joko..Joko..sini Nak” suara Bu Sutini terdengar lirih dan dalam. Sedalam beban perasaan yang akan dipendam Bu Sutini karena harus ditinggalkan anaknya. “Bawa ini Nak” sambil memberikan amplop berwarna coklat. “Tidak banyak. Setidaknya Ibu masih mampu memberikan bekal untuk kamu dan istrimu. Mungkin ini bekal terakhir dari Ibu buat kamu” air mata yang penuh kasih sayang mulai menetes dari sudut mata Bu Sutini. “Nak, kamu sudah kami sekolahkan hingga SMA. Bekal ilmu agama pun sudah kamu dapatkan, meskipun Ibu merasa masih sangat kurang. Bekal untuk hidup kamu kedepannya yang sesungguhnya adalah bekal ilmu kehidupan yang sesungguhnya akan kamu hadapi di kota nanti. Hanya satu pesan Ibu, benar apa yang sudah dikatakan oleh Bapakmu tadi. Jangan pernah lupa dari mana kamu berasal” sambil meraih tangan Joko dan Narsih, Bu Sutini mulai merangkul anak dan menantunya.
“Ibu..!” Joko dan Narsih menangis sejadi-jadinya dipelukan sang Ibu. Tas besar yang diapit dibahunya dilepaskan begitu saja. Joko pun luruh, lemas lunglai dan bersujud dikaki Ibunya. Joko bersimpuh dihadapan Ibunya, sebagai bentuk penghormatan yang setinggi-tingginya, bukti bakti seorang anak kepada sang pemilik surga. Bukankah surga berada dibawah telapak kaki Ibu? Menghormati Ibu merupakan salah satu bentuk jalan menuju surga-Nya.
“Bu..Izinkan saya dan Narsih pergi. Saya mohon doa restu dari Ibu. Saya janji akan mengingat yang Ibu bilang tadi” deraian air mata bercucuran dan membasahi wajah Joko. “Pergilah Nak. Ibu restui kepergian kalian. Hati-hatilah dikota, karena kota tidak seramah desa” pesan Bu Sutini kepada anak dan menantunya.
…..
“Boss..Boss..sudah sampai Boss” Parjo menggoyang-goyangkan tubuh Joko, karena mobil box yang mereka tumpangi sudah sampai di garasi mobil rumah Joko. “Boss..bangun Boss..” kembali Parjo menggoyang-goyangkan tubuh Boss-nya. Dan.. “Hahhhh..!..Ibuuu!” Joko terbangun dari mimpi panjangnya dan seperti orang yang sedang linglung dan kebingungan, Joko menoleh kekiri dan kanan. Seperti mencari sesuatu, mencari seseorang. “Ibu, dimana Jo?” tanya Joko kepada Parjo. “Dikampung Boss” jawab Parjo singkat saja.
“Astaghfirrullahualadziim” Joko tersentak dan menyadari, bahwa baru saja ia bermimpi panjang tentang masa lalunya. Bukan..bukan bermimpi, tapi Joko baru saja teringat sebuah kenangan. Sebuah kenangan yang sejak dahulu tidak pernah ia ceritakan kepada siapapun.
“Jo, kalau kamu mau mudik bersama Tukiyem, Wawan, Khaidir dan Saiful hari ini, kamu boleh pakai mobil mini bus milik Ibu. Kalau kamu dikampung bertemu Pardi, Wati dan Sukri, sampaikan permohonan maaf saya ke mereka” setelah mengucapkan kalimat yang terakhir, Joko bergegas menuju kedalam rumahnya. Baru saja beberapa detik Parjo mematung akibat kelakuan Boss-nya, tiba-tiba saja Joko kembali sambil berlari. “Ini uang THR buat kamu dan teman-teman kamu yang lain. Bagi yang adil yaa” lalu Joko berlari kembali kedalam rumah. Dan Parjo masih belum bisa berkedip atas apa yang baru saja terjadi.
“Parjoooo..ngapain masih disitu. Bukannya siap-siap mudik, malah bengong disitu” hardik suara seseorang yang ternyata suara Joko dari atas balkon rumah. Parjo terkesima atas apa yang baru ia lihat. Ada hal aneh yang ada didalam diri Boss-nya. Tak seperti biasanya. “Parjoooo..” suara itu kembali menghardik dirinya. “ii..iya Boss” Parjo menyahut panggilan suara Boss-nya. Parjo masuk kedalam bilik kamarnya, sebuah kamar sempit disela-sela garasi mobil. Sambil tertawa kegirangan, Parjo menghubungi teman-teman kerjanya yang memang masih satu kampung.
Senang dan bahagia yang dirasakan Parjo ternyata tidak bisa menyaingi rasa senang dan bahagia yang dirasakan oleh Joko. Seperti seorang anak kecil yang akan pergi bertamasya ke wahana bermain anak, Joko senyum dan tertawa sambil mempersiapkan segala sesuatunya. Dalam hati ia berucap, “Ibu..Bapak, aku pulang”..