Tidakkah Kalian Rindu Kampung Halaman ? (Bagian 4)

Tidakkah Kalian Rindu Kampung Halaman ? (Bagian 4)

Yanto masih bercakap-cakap dengan seorang pedagang kopi ketika Narsih dan kedua putrinya, Reva dan Revi terlelap di bangku kayu terminal bus bayangan. Terminal bus yang sepi dan terlihat jarang sekali bus-bus antar kota antar provinsi yang lewat. Hanya Revo yang masih terjaga dan terlihat sedang memandangi wayang kulit yang yang sedang dipajang disalah satu kios. Revo yang menginjak bangku sekolah kelas 1 SMP ini terlihat kagum dengan sosok wayang kulit Arjuna yang terpampang paling depan diantara tokoh wayang kulit yang lainnya.

Mereka terpaksa bermalam di terminal bus karena untuk sampai didesanya, Yanto dan keluarganya harus naik angkutan desa yang baru akan beroperasi setelah Subuh menjelang. Dipunggung bukit, di atas gunung nun jauh disana, sebuah desa kecil berada.

Bacaan Lainnya

Baca juga :  Tidakkah Kalian Rindu Kampung Halaman? (Bagian 3)

“Darimana Mas?” tanya Sudiro kepada Yanto yang sedang meneguk segelas kopi hitam yang disajikan dengan gelas plastik. “Dari Jakarta Mas. Biasa Mas, mau mudik ke kampung. Udah lama nggak pulang soalnya” tutur Yanto kepada Sudiro yang sedari tadi memandangi wajah Yanto. “Kok saya sepertinya kenal yaa. Dulu tinggal dimana Mas?” Sudiro mulai menelisik lebih dalam. “Desa Ndlepih, diatas sana” sambil menunjuk ke arah gunung tinggi yang membentang dari Selatan ke Utara. “Wajahnya mirip Pak Wasisto. Jangan-jangan..” Sudiro mulai mendekati wajah Yanto yang memang sudah tidak asing lagi baginya.

“Mas Yanto kan?” sambil menunjuk wajah Yanto, Sudiro mulai melebar senyumnya. “Loh kok tau? Sampeyan memang siapa?” Yanto seakan tak percaya ada yang mengenalinya di dini hari seperti ini. “Saya Diro Mas. Sudiro tetangga kamu. Masa kamu lupa?” Sudiro sudah yakin bahwa seseorang yang ada didepannya adalah tetangganya didesa. “Sebentar.. Sebentar..kamu Diro adiknya Suhadi?” sambil terperangah Yanto bertanya. “Iya Mas, saya adiknya Suhadi, itu kakak saya. Mas Yanto kan teman sekolahnya Mas Suhadi” terang Sudiro.

Dan akhirnya, perbincangan tersebut berlanjut hingga larut. Begitu hangat, begitu cair. Keramahan Sudiro dipadu dengan keluwesan Yanto dalam berbincang-bincang, membuat perbincangan tersebut riuh ramai mengiringi suasana dini hari. Satu persatu pedagang-pedagang yang berada disekitar warung kopi Sudiro mulai terusik. Mereka terusik dengan suasana hangat perbincangan mereka berdua. Mereka merasa terpanggil untuk “nimbrung” dan turut larut dalam perbincangan.

Karso, Muladi, Sujarwo diantara pedagang-pedagang yang kiosnya sepi, mulai larut dalam perbincangan tersebut. Banyak hal yang mereka perbincangkan, dari suasana kampung hingga perkembangan pembangunan didesa mereka. Kejadian-kejadian menarik yang telah terjadi hingga anak-anak mereka pun menjadi topik perbincangan. Hingga Revo kembali sambil membawa sebuah wayang kulit dengan sosok Arjuna. “Ayah, kata Pakde yang itu, wayang ini buat Revo” sambil menunjuk sebuah kios yang menjajakan oleh-oleh khas daerah serta pajangan dan hiasan rumah.

“Mari sini Nak, Pakde ceritakan siapa itu Arjuna. Dan kenapa wayang kulit dan kesenian tradisional harus tetap dilestarikan” ujar Sujarwo yang ternyata seorang sarjana lulusan salah satu institut kesenian di Yogyakarta. Revo melompat kegirangan, ada sesuatu hal baru yang akan dia dapatkan. Sesuatu hal yang akan terus mengingatkan dirinya. Sesuatu hal yang akan terus dia kenang. Seni dari kampung halamannya. Dan darimana ia berasal.

…..
Sementara itu, 20 km dari terminal bus, disebuah hotel ditengah kota, Sri berbaring diatas kasur spring-bed mewah. Menatap kosong langit-langit kamar hotel yang semakin lama semakin menyadarkan dirinya, betapa bodohnya dirinya ditempat ini. “Kenapa juga harus menghindar dari dirinya, memang dia siapa? Bukan siapa-siapa aku kok” batinnya seakan-akan sedang berbincang dengan dirinya sendiri. Ada sesuatu hal yang mengganjal pikirannya. Masa lalu. Sri enggan untuk melihat dan menyaksikan masa lalunya.

Kamar hotel yang megah dan mewah itu mulai berputar. Perlahan tapi pasti, kemewahan dan kemegahan dari kamar hotel itu memutar kenangan pahit yang pernah Sri rasakan. Sedetik kemudian, Sri mulai terperosok ke masa lalunya.

“Kamu anaknya Sutini kan? tanya Bu Lurah sambil memicingkan sebelah matanya. Sinis dan keji. ” Iya Bu” Sri menundukkan kepala karena tak berani menatap raut wajah sinis nan keji Bu Lurah. “Saya beritahu kamu untuk yang terakhir kalinya” telunjuk tangan kanan Bu Lurah mengarah ke wajah Sri yang semakin pucat pasi. Tangan kirinya bertolak pinggang, sangat kontras dengan balutan kebaya berwarna ungu muda dan kain batik dengan dasar coklat muda bermotif bunga-bunga dan dedaunan. “Wahyu sudah saya jodohkan dengan Ponirah anaknya Pak Camat. Camkan itu Sri” kedua bola mata Bu Lurah seakan-akan hampir keluar dari cangkangnya ketika mengucapkan kalimat tersebut.

Sri hanya bisa berdiam diri. Tidak menangis atau pun meringis menahan pedih yang sedang ia rasakan. Sri sangat memahami, bahwa sebagai anak seorang anak guru SD tingkat desa, dirinya sadar tak akan pernah terjadi untuk bersanding di pelaminan bersama laki-laki keturunan darah biru, walaupun hanya dalam mimpi. “Dan bilang ke bapakmu, Wasisto, tolong ajarkan adab dan tata krama kepada anak gadisnya” senyum sinis dan nampak tidak manis dari Bu Lurah, hanya menambah irisan-irisan kepedihan yang sedang mengoyak-oyak rasa cinta Sri kepada Wahyu.

“Ibu..tolong jangan sakiti Sri dengan kata-kata yang tidak pantas!” Wahyu tiba-tiba saja muncul dari balik pintu. Nafasnya terengah-engah penuh dengan amarah, seakan-akan seperti seekor harimau yang akan melahap mangsanya. Matanya memerah bak binatang jalang yang akan menerkam apapun yang merintanginya. “Saya akan pergi dari rumah ini, jika Ibu tidak merestui pernikahan kami !” Wahyu mulai meracau. Jiwanya panik dan kalut karena cintanya sudah terhalang tembok besar dan tinggi. Keangkuhan dan kesombongan Bu Lurah sudah meluruhkan kisah cinta antara Wahyu dan Sri yang sejak lama sudah mereka rajut bersama.

“Kalau itu maumu, silahkan saja!” Bu Lurah berteriak tepat didepan wajah Wahyu. “Jangan bawa apa-apa lagi selain pakaian yang kamu kenakan!” sambil berlalu Bu Lurah meninggalkan mereka berdua. Meninggalkan sebuah luka yang dalam membekas atas nama cinta. Tapi diluar dugaan. “Ibu..maafkan aku Bu !” Wahyu merengek-rengek sambil bersimpuh dikaki Ibunya. Selayaknya seorang anak kecil yang sedang merengek meminta dibelikan kembang gula oleh Ibunya. Sri terkejut atas apa yang sedang ia lihat. Ternyata Wahyu tidak setegar dan sekuat yang ia bayangkan sebelumnya.

“Wahyu ! Apa yang baru saja kamu lakukan, sudah membuka tabir yang sesungguhnya dari dirimu ! Seharusnya kamu malu Wahyu !” kata-kata yang diucapkan Sri meskipun pelan sesungguhnya sangat menusuk sanubari Wahyu. “Mulai saat ini, jangan pernah memanggil namaku lagi! seraya mengucapkan kalimat yang terakhir tadi, Sri melangkahkan kakinya keluar dari rumah Bu Lurah. Hingga akhir hayat hidupnya Bu Lurah, Sri belum pernah lagi menginjakkan kakinya lagi kerumah itu. Perasaan Sri hancur melihat tingkah polah Wahyu yang ternyata pengecut dan kekanak-kanakan. Sri berlari dan menangis sejadi-jadinya, tanpa menghiraukan cemoohan orang lain. Hanya satu kalimat yang terus ditanamkan kedalam relung hatinya, “Aku harus kuat, dan tidak boleh disepelekan oleh orang lain !”.

Sri mulai membuka matanya. Ia baru tersadarkan diri dari lubang kenyataan yang terus menghantuinya laksana mimpi yang teramat dalam. Lalu ia duduk dipinggir kasur spring-bed, sambil menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Seraya menarik nafas yang teramat panjang. Kemudian ia berdiri lalu mengambil anak kunci mobil, yang sejak check-in tadi ia geletakkan diatas meja. Ia sadar, harus segera bergegas menuju rumah orang tuanya. Tapi, ia khawatir, masa lalunya akan terus menghantui dirinya. Masa lalu yang getir seperti halnya hatinya yang terkilir tanpa ada akhir.

Pos terkait