Mentari sudah membumbung tinggi di balik bukit, dan sinarnya mulai mengintip dari sela-sela kabut tebal pegunungan. Masih malu-malu, seperti gerak-gerik yang ditunjukkan Sri ketika mobil sedan sport miliknya berjalan perlahan menyusuri jalan kampung. Bola matanya melirik kekiri dan kanan, seakan-akan masa lalunya memperhatikan laju kendaraan roda empat miliknya. Menghantui. Khawatir dan cemas.
…..
Narsih bersandar dibahu kiri Joko sambil menggenggam tangannya, begitu erat begitu cemas. Mereka seakan-akan seperti sedang menuju ke sebuah tempat yang mengerikan. Ada tetesan keringat dingin di dahi Joko, ada ketakutan yang menghantui relung-relung jiwanya. Masa lalu yang membuat dirinya dan Narsih harus meninggalkan desa kelahiran mereka. Sebuah kejadian yang akan terus melekat dan terkenang.
…..
Sebuah mobil angkutan desa melesat dengan cepat, seakan-akan tergesa-gesa mengejar setoran yang belum tercapai. Menikung di tikungan tajam yang menanjak dan menurun, kelihaian dari sang supir sudah tidak perlu diragukan lagi. Jalan-jalan dikampung ini memang jalur sehari-harinya. Di kabin belakang, Reva dan Revi sibuk berdebat siapa yang akan digendong terlebih dahulu untuk digendong oleh Kakek dan Nenek mereka. Hanya Revo yang semenjak duduk di angkutan desa tersebut, sibuk sendiri dengan dunianya. Meraba dan mengagumi wayang kulit pemberian seorang pedagang pajangan dan hiasan rumah di terminal bus bayangan semalam. Jumisih sibuk berhitung, menyisihkan sebagian uang dan receh didompet lusuhnya untuk ongkos pulang nanti. Sedangkan Yanto, hanya melamun sambil memperhatikan jalanan kampung halamannya yang mulai bagus sejak ia meninggalkannya.
“Mas Yanto..Mas” teriak Kang Yono sang pengemudi angkutan desa yang mengangkut keluarga Yanto. “Iya Kang” jawab Yanto. “Rumah paling atas dikampung ini, kan yaa?” tanya Kang Yono. “Betul Kang” Yanto mulai mendongakkan kepalanya. Diperhatikan sisi kiri dan kanan jalanan, “Ya.. rumah tua diatas sana, rumah orang tuaku. Disanalah aku lahir dan dibesarkan” gumam Yanto dalam hati.
Rumah tua dengan design Joglo khas Jawa, dan belum berubah sedikit pun hingga kini. Hanya saja, ada sedikit perubahan dihalaman rumah. Dulu halaman rumah itu masih tanah, sekarang sudah ditutup dengan pavling blok. Masih terlihat rapi dan asri. Dan seorang laki-laki tua yang sedang duduk diteras. Rambutnya memutih dan sedang termenung. Bapak. Ya..itu Bapak.
Angkutan desa yang mengangkut Yanto dan keluarga menepi dan berputar, masuk ke dalam pekarangan rumah Pak Wasisto. Laki-laki tua yang sedang duduk diteras rumah itu pun kaget, lalu ia berdiri. Siapa gerangan yang sudah masuk pekarangan rumahnya tanpa permisi.
Yanto bergelantungan dibagian belakang angkutan desa yang memang tak ada pintunya. Yanto tersenyum menyaksikan Pak Wasisto yang kebingungan. Sedetik kemudian, Pak Wasisto menyadari bahwa si Bungsu pulang. “Bu..Ibu..” Pak Wasisto bergegas masuk kedalam rumah. Sekarang Yanto yang kebingungan. Mobil berhenti, Revo mendahului adik-adiknya, ia melompat dari angkutan desa tanpa perlu bantuan Ayah ataupun Ibunya. Lalu Jumisih dan kedua putrinya turun lalu memberikan beberapa lembar uang yang dilipat untuk diberikan ke Kang Yono. “Terima kasih banyak yaa Kang” ucap Jumisih kepada Kang Yono. “Sama-sama Mbak. Besok-besok kalau mau pulang, hubungi saya saja Mbak. Mas Yanto sudah punya kok nomer kontak saya” terang Kang Yono sambil cengengesan. Kang Yono pun berlalu meninggalkan pertemuan membahagiakan keluarga yang sekian lama tak berjumpa.
Yanto memperhatikan sekelilingnya, hampir tidak ada yang berubah. Rumah, teras, pekarangan rumah bahkan kandang ayam dibelakang rumah pun masih seperti yang dulu. Yanto terkesan dengan apa yang sudah dilakukan oleh kedua orang tuanya. Dan akhirnya, Pak Wasisto dan Bu Sutini melangkahkan kaki ke arah teras rumah. Reva dan Revi berlarian, berlomba siapa yang akan digendong terlebih dahulu oleh Kakek dan Nenek mereka. “Kakek..Nenek..” Reva dan Revi memanggil-manggil. Pak Wasisto dan Bu Sutini membungkuk seraya menyambut kedatangan anak dan cucu-cucu mereka.
“Kalian sudah besar. Berat. Kamu dikasih makan apa sama Bapak Ibumu, Nak” sambil mencium kening kedua cucu-cucunya, Pak Wasisto dan Bu Sutini merasakan kebahagiaan yang tak terkirakan sebelumnya. Yanto dan Jumisih masih berpandang-pandangan menyaksikan kebahagiaan orang tua dan mertuanya.
“Bapak.. Ibu..” Yanto mengucapkan salam sambil meraih tangan kedua orang tuanya. Yanto memeluk keduanya. Melepas rindu bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. “Maafkan saya yaa Pak..Bu..baru kali ini bisa pulang” ujar Yanto kepada kedua orang tuanya. “Bapak dan Ibu paham Nak. Kalian sibuk dan tak cukup waktu buat pulang” meskipun Pak Wasisto dan Bu Sutini tahu, apa yang sebenarnya yang menjadi alasan anak-anak mereka jarang pulang ke kampung halaman.
“Ayo masuk.. masuk semuanya” ajak Bu Sutini kepada Yanto dan keluarga kecilnya. Yanto menoleh kekiri dan kanan, dimana Revo. “Revo..Revo..” Jumisih memanggil-manggil nama anaknya. “Disini Bu, dibelakang” teriak Revo. Ternyata Revo sedang memberikan pakan ternak di kandang ayam milik Kakeknya. Di kota mana ada hal-hal seperti itu. Bising dan asap knalpot kendaraan bermotor yang lalu lalang hingga kemacetan adalah makanan sehari-hari anak-anak kota.
Suasana bertambah haru membiru, tatkala mobil sport milik Sri masuk kedalam pekarangan rumah Pak Wasisto dan Bu Sutini. Pintu mobil terbuka, dalam sekejap saja Sri berlari ke arah teras. “Ibu..Bapak..” teriak Sri lalu memeluk erat tubuh Bu Sutini. Hampir saja Bu Sutini kehilangan keseimbangan, jika Yanto tidak memegang tubuh Ibunya. “Aku kangen sama Ibu” lirih Sri kepada Ibunya. Semua terkesima, karena Sri sudah berubah. Sri begitu cantik dan ayu. Berbanding terbalik 180 derajat ketika meninggalkan kampung beberapa tahun yang lalu.
Sri menoleh ke arah Bapaknya, lalu ia memeluk pula Pak Wasisto. Sosok Bapak yang mulai memutih warna rambutnya. “Bagaimana keadaan Bapak? Sehat kan yaa?” ujar Sri sambil tersenyum lebar kepada Bapaknya. Yanto, Jumisih serta keponakan-keponakannya pun tak luput dari pelukan erat Sri. Sudah lama sekali Sri tidak merasakan kebahagiaan bersama keluarga.
Tiba-tiba saja suara klakson mobil yang ditekan berkali-kali memecah suasana kehangatan keluarga itu. Dua buah mobil mini bus masuk kedalam pekarangan rumah Pak Wasisto dan Bu Sutini. Mobil kelas menengah yang lumayan masih baru, terlihat jelas dari plat nomer kendaraannya. Jendela mobil diturunkan, seorang laki-laki sekira 30-an usianya, menggunakan kacamata hitam memberi salam. ” Assalammualaikum semua” senyum sumringah Parjo mengagetkan semua orang. “Parjo !” gusar Pak Wasisto sambil mengacungkan genggaman tangan kanannya. “Tenang Mbah” Parjo tertawa lalu keluar dari mobil diikuti oleh Pardi, Tukiyem, Wati dan Sukri. Masing-masing dari mereka membawa oleh-oleh dan berbagai macam makanan dan minuman. Parjo membuka pintu penumpang, lalu keluarlah Joko kemudian disusul oleh Narsih. Joko mengenakan kacamata warna coklat elegan. Dari balik kacamata yang ia kenakan, tersembul deraian airmata. Airmata bahagia yang sejak dari kota ia pendam, kini ia tumpahkan dikampung.
“Bapak..Ibu..” Joko melangkah dengan cepat lalu tersungkur dan bersimpuh di kedua pasang kaki orang tuanya. “Maafkan Joko Pak..maafkan Joko Bu. Baru sempat mudik” pinta Joko kepada kedua orang tuanya. “Bangun Nak..bangun..udah..udah..nggak apa-apa” jawab Bu Sutini sambil mengelus-elus rambut anak sulungnya. Pak Wasisto meraih pundak anak sulungnya itu, ditatapnya wajah Joko lalu dirangkul dan dipeluknya dengan erat tubuh Joko. Narsih pun melakukan hal yang sama persis seperti Joko. Kali ini Bu Sutini yang merengkuh Narsih dan memeluk erat tubuh Narsih.
Yanto dan Sri yang menyaksikan adegan yang mengharukan tersebut, malah turut larut dan turut memeluk kedua orang tua mereka. Deraian air mata membasahi wajah mereka masing-masing. Air mata kerinduan yang sekian lama dipendam dan tak tahu harus kemana ingin mengadu. Rindu dendam dan bayang-bayang masa lalu yang selama ini menghantui, sudah tidak mereka risaukan lagi.
Kecemasan dan kekhawatiran Pak Wasisto dan Bu Sutini terbayarkan dengan sudah hadirnya anak-anak dan cucu-cucu mereka. Rindu dendam Sri dan Joko pun seakan-akan sirna dengan berkumpulnya mereka semua dirumah. Rumah dimana mereka dilahirkan dan dibesarkan. Dikampung halaman dimana mereka tumbuh dan kembang. Kampung halaman yang akan terus mereka rindukan.