Bogor, KPonline – Kontestasi pemilihan umum baik pemilihan anggota legislatif ataupun pemilihan presiden dan wakil presiden pada April 2019 nanti, menimbulkan gonjang-ganjing di berbagai kalangan masyarakat. Rakyat disuguhi berita-berita yang sudah diragukan lagi keabsahan dan kebenarannya.
Antara pejabat negara yang satu dengan yang lainnya, saling tuding dan saling memjatuhkan. Media arus utama sudah tidak seimbang dalam porsi pemberitaan, tidak berimbang. Bahkan, ada yang lebih parah, ketidak netralan media arus utama dalam menyikapi kontestasi politik yang sedang berkembang.
Bagaimana dengan kaum buruh? Apakah masih seperti di zaman rezim Orde Baru? Menjadi komoditas politik dan penonton setia, perhelatan akbar 5 tahunan?
Sepertinya tidak. Sejak Pemilu 2004, setidaknya sudah ada Partai Buruh, besutan Muchtar Pakpahan. Artinya, dengan tumbangnya dan berakhirnya masa rezim Orde Baru, kaum buruh mendapatkan sedikit celah dalam berpolitik.
Apakah hanya sampai disitu saja, punya partai politik dan “mencoba peruntungan” dengan berkompetisi dengan partai-partai borjuasi?
Pemilu 2014, buruh Bekasi menggoreskan tinta emas dalam kontestasi politik pemilihan anggota legislatif. Dengan duduknya 2 orang kader terbaik FSPMI di gedung parlemen Kabupaten Bekasi, seperti ada tetesan embun pelepas dahaga. Menyegarkan dan membuka jalan dan pemikiran di akar rumput, bahwa Kaum Buruh harus “melek” politik dan tidak boleh alergi terhadap politik.
Selesai sampai disinikah? Tentu tidak. Karena 2019 nanti, puluhan kader terbaik FSPMI sedang dipersiapkan. Mengenakan baju zirah kaum buruh dan bersenjatakan kekuatan massa salah satunya.
Kader-kader terbaik organisasi, akan selalu lahir dari rahim organisasi. Belajar merangkak, berdiri lalu berjalan perlahan-lahan. Sebelum berniat untuk berlari pun, kader-kader terbaik organisasi ini pun, akan diberikan bekal untuk digunakan dikemudian hari. Bahkan, tidak sedikit yang dengan gagah berani, membekali diri mereka sendiri. Hebat bukan?
Dalam tata cara berdemokrasi di dunia dan juga di Indonesia, mayoritas suara terbanyak akan menjadi pemenang. Sampai disini, sebagai kaum buruh seharusnya kita sudah sadar, bahwa suara kaum buruh bisa menjadi penentu dalam memenangkan suara rakyat.
Bukankah jumlah suara kaum buruh yang berjuta-juta ini begitu signifikan? Sehingga kekuatan massa yang luar biasa, bisa dijadikan modal utama dalam meraup jumlah suara? Tapi teori yang sangat mudah tersebut, tidaklah mudah dalam prakteknya.
Miris memang, ketika suara kaum buruh harus terpecah hanya karena kepentingan, entah itu kepentingan politis ataupun kepentingan pribadi dan golongan.
Kenapa juga harus terpecah jikalau memang bisa untuk bersatu? Mudah dalam teori, akan tetapi akan sulit dalam prakteknya. Jika 1+1 = 2 , dalam politik, persamaan matematis yang sangat mudah tersebut, bisa saja berubah menjadi 1+1 = 2,5.
Loh kok bisa? Eniting kult bi hepen in politic! Ujar Mas Dilan ketika membuka Pendidikan Politik Praktis bagi Presiden-Presiden Gagal.
Titipan politis, politisi yang bermain curang atau bahkan mungkin saja, adanya main mata antara politisi busuk dengan oknum pimpinan kaum buruh pun bisa saja terjadi.
Masih teringat dengan jelas, Aksi 30 Oktober 2015 didepan Istana Merdeka. Ribuan buruh harus berhadap-hadapan dengan aparat ketika menolak PP 78/2015. Sebanyak 23 aktivis buruh dan beberapa orang mahasiswa dikriminalisasi. Beberapa bulan berselang, tersiar kabar bahwa ada beberapa pimpinan buruh yang di angkat menjadi Komisaris BUMN.
Pangkat, jabatan dan kekuasaan, seakan-akan menjadi magnet bagi yang menginginkannya. Segala cara akan ditempuh, segala hal akan dilakukan, demi tercapainya ambisi pribadi dan golongan.
Ada satu hal lagi yang perlu kita cermati dan kritisi lebih mendalam. Kesempatan. Kesemuanya itu, 99% akan terlaksana jika ditambahkan 1% kesempatan.
Ketika mempunyai pangkat yang cukup mentereng, kita akan mempunyai kesempatan. Disaat menjabat sebuah jabatan yang memiliki nilai politis, kita pun akan memiliki kesempatan politis. Terlebih-lebih memegang kekuasaan penuh terhadap kebijakan-kebijakan politik, kita pun akan memegang kekuasaan dalam hal politik.
Sebagai buruh kecil, impian saya tidak muluk-muluk dan tak perlu tinggi-tinggi. Realistis saja. Minimal, dengan adanya buruh yang memiliki kekuasaan politik, bisa memperjuangkan negeri ini menjadi lebih baik. (Rinto Dwi Wahana)