Jakarta, KPonline – Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (DPP FSPMI) menginstruksikan anggotanya untuk turun ke jalan pada tanggal 27 September 2018 dan 3 Oktober 2018. Tertuang dalam Surat Instruksi Nomor 01593/Org/DPP FSPMI/IX/2018 tertanggal 21 September 2018, aksi tanggal 27 September akan dipusatkan di Gedung Sate, Bandung. Sedangkan untuk tanggal 3 Oktober, aksi akan digelar di Bank Indonesia dan Istana Negara.
Di Gedung Sate, Bandung, para buruh akan mengusung beberapa tuntutan. Diantaranya adalah meminta agar Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 54 Tahun 2018 dicabut. Selain Pergub, buruh juga meminta agar Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 yang membatasi kenaikan upah segera dicabut. Selanjutnya, untuk upah minimum 2019, buruh meminta kenaikan upah sebesar 30 persen.
Aksi di Jawa Barat ini setidaknya akan diikuti seribu orang buruh dari berbagai daerah, seperti Purwakarta (500 orang), Subang (100 orang), Cianjur (50 orang), Bandung Raya (200 orang), dan Garda Metal 100 orang.
Sedangkan aksi di Bank Indonesia dan Istana Negara, 3 Oktober 2018, akan diikuti setidaknya 4.000 orang buruh. Para buruh berasal dari DKI Jakarta (500 orang), Bogor (750 orang), Depok (100 orang), Tangerang (750 orang), Serang (50 orang), Cilegon (50 orang), Bekasi (1.500 orang), dan Karawang (750 orang).
Selain FSPMI, aksi juga diikuti berbagai elemen serikat buruh yang lain. Diantara adalah serikat pekerja yang berafiliasi dengan KSPI, GSBI, dan berbagai serikat pekerja lain.
Sama dengan tuntutan dalam aksi di Jawa Barat yang menolak Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 54 Tahun 2018 dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 serta menuntut kenaikan upah sebesar 30 persen, dalam aksi 3 Oktober 2018 buruh juga menuntut agar harga sembako dan tarif listrik diturunkan (wujudkan kemandirian pangan dan energi).
Tidak hanya itu, dalam aksi ini massa aksi juga akan melawan kebijakan International Monetary Fund (IMF) – World Bank (WB) yang merugikan kaum buruh, sekaligus menolak pelaksanaan sidang IMF – WB di Bali.
Lawan IMF – WB, Jangan Biarkan Hak Buruh dan Rakyat Dirampas Mereka
Berbagai rekomendasi IMF – WB merugikan kaum buruh dan rakyat kecil yang lain. Seperti yang disampaikan oleh Ketua Badan Pengarah Institute for National and Democracy Study (INDIES) Erpan Faryadi dalam Focussed Group Discussion (FGD) bertajuk Membongkar Skema Kapitalisme Monopoli dalam Melakukan Dominasi Ekonomi, Politik, dan Kebudayaan Melalui Instrumen IMF dan Bank Dunia yang diselenggarakan KSPI dan GSBI, 28 Agustus 2018, berbagai kejahatan IMF dan Bank Dunia antara lain adalah (1) Liberalisasi sektor industri dan tenaga kerja, (2) Liberalisasi sektor pertanian, (3) Privatisasi badan-badan usaha milik negara (BUMN), (4) Deregulasi jasa dan perbankan, (5) Penghapusan upah minimum, (6) Pemotongan upah buruh, (7) Pencabutan subsidi negara untuk pendidikan, kesehatan, pangan dan energi, hingga (8) Perluasan basis pajak pendapatan bagi rakyat miskin.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan, serikat buruh harus berdiri di garda depan untuk melakukan perlawanan. Penolakan kaum buruh terhadap PP 78/2015, Pergub Jabar 54/2018, dan tuntutan upah naik 30 persen adalah antitesa dari rekomendasi IMF – WB untuk menghapuskan upah minimum dan pemotongan upah buruh.
Di saat yang sama, tuntutan untuk menurunkan harga sembako dan listrik adalah perlawanan kita terhadap pencabutan subsidi negara untuk pendidikan, kesehatan, pangan dan energi.
Persiapkan diri kalian. Ini bukan saja untuk kaum buruh, tetapi juga perjuangan untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahkan, menjadi ikhtiar untuk menciptakan peradaban dunia yang lebih baik. Dunia tanpa IMF – WB!