Bekasi, KPonline – Ribuan Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) akan melakukan aksi unjuk rasa di depan istana negara pada Kamis, 6 Juni 2024.
Aksi unjuk rasa menentang ketentuan mengenai kewajiban iuran untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Diketahui aturan tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024.
Aturan tersebut berisi tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Dalam peraturan tersebut, pemerintah memaksa para pekerja yang termasuk ASN, karyawan swasta, dan pekerja mandiri atau freelance untuk ikut sebagai peserta Tapera.
Tapera “Tabungan Perumahan Rakyat” adalah bentuk tabungan yang menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah layak dan terjangkau bagi peserta.
Tapera sebelumnya hanya diwajibkan bagi ASN, TNI-Polri dan pegawai BUMN, tetapi sekarang juga menyasar para pekerja swasta. Adapun untuk persentase besaran simpanan paling baru ditetapkan dalam Pasal 15 PP 21/2024.
Dalam ayat 1 pasal tersebut, disebutkan besaran simpanan yang ditetapkan pemerintah adalah sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri.
Sementara ayat 2 pasal yang sama mengatur tentang besaran simpanan peserta pekerja yang ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen. Mekanismenya nanti secara otomatis gaji pekerja dipotong setiap bulannya (tanggal 10). Dengan syarat pekerja tersebut berusia minimal 20 tahun, sudah menikah, dan gaji minimal UMR.
Adapun terkait manfaat Tapera sebagaimana diatur pasal 24 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, pembiayaan rumah meliputi pembelian rumah milik baru, pembangunan rumah, serta perbaikan rumah.
Sekretaris Konsulat Cabang FSPMI Bekasi, Sarino, S.H., M.H, disela-sela peresmian kantor sekretariat PUK SPL FSPMI GSG PT.Gunung Raja Paksi, Tbk mengatakan Tapera merupakan pemaksaan negara kepada rakyatnya dalam wujud iuran yang sudah sering dilakukan bukan kali ini saja.
“Sebelumnya ada BPJS Kesehatan yang juga dipaksakan kepada rakyat, sampai-sampai kepesertaan BPJS diwajibkan sebagai syarat banyak urusan publik, di antaranya syarat Umroh dan Haji (belied No. 5 huruf b), syarat mengurus SIM, STNK, SKCK (belied No. 25 huruf a), syarat jual beli tanah (belied No. 17), syarat mengurus administrasi di seluruh kementerian dan lembaga.” Kata Sarino
“Sudah gaji tak seberapa dan belum tentu sudah mampu memenuhi seluruh kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar rakyat, negara malah menambah derita rakyatnya dengan menyunat paksa gaji pekerja setiap bulannya. Bukankah ini kezaliman yang nyata,” lanjutnya.
Sarino juga menjelaskan bahwa pemaksaan iuran Tapera sama sekali tidak menguntungkan pekerja, Gaji dipotong 3 persen sebagai tabungan membeli rumah, namun pemerintah tidak mampu mengendalikan inflasi kenaikan harga rumah yang terus meroket. Lantas sampai kapan rakyat bisa punya rumah?
Pemotongan gaji pekerja atas nama iuran Tapera hanyalah tipu-tipu ala sistem kapitalisme. Betapa ironisnya nasib rakyat yang kian jauh dari sejahtera. “Pemalakan demi pemalakan dilakukan negara dengan legalitas UU. Ini sungguh memprihatinkan,” jelas Sarino.
Pun demikian ketua PP SPL FSPMI, A. Taupik Hidayat mengatakan jika memang negara serius ingin menyejahterakan rakyatnya dan memenuhi kebutuhan asasi rakyatnya, maka negara akan menerapkan sistem ekonomi yang pro terhadap kepentingan rakyat. Bukan sistem ekonomi kapitalis yang hanya berpihak kepada para pemilik modal.
“Jika ingin rakyatnya terpenuhi kebutuhan papannya, semestinya negara menyediakan rumah murah tanpa riba dan negara menjamin kesejahteraan para pekerja dengan memberikan jaminan terdistribusinya kekayaan alam negeri ini secara merata kepada seluruh lapisan masyarakat,” pungkas A. Taupik. (Yanto)