Jakarta, KPonline – Tanggal 6 Februari diperingati sebagai hari lahir FSPMI. Dalam beberapa tahun terakhir ini, FSPMI selalu memperingati hari ulang tahunnya dengan aksi unjuk rasa. Tentu saja, pilihan merayakan ulang tahun dengan melakukan aksi bukan tanpa alasan. Ini semacam cara untuk menegaskan sikap, jika FSPMI memang didesain sebagai organisasi “perlawanan”.
Sesuai dengan surat instruksi DPP FSPMI tertanggal 14 Januari 2019, setidaknya ada 7 (tujuh) isu yang akan diusung. Tujuh isu perjuangan yang dimaksud adalah: (1) Sediakan Lapangan Kerja – Tolak PHK dan Pemagangan; (2) Tolak Upah Murah, Cabut PP 78/2015 dan Jadikan KHL 84 Item; (3) Perbaiki Kinerja BPJS Kesehatan; (4) Regulasi Revolusi Industri 4.0; (5) Tolak TKA Cina Unskill; (6) Turunkan Harga Bahan Pokok dan Tarif Dasar Listrik/TDL; dan (7) Pilih Capres dan Caleg yang Pro Kaum Buruh.
1) Sediakan Lapangan Kerja – Tolak PHK dan Pemagangan
FSPMI menilai, saat ini ketersediaan lapangan kerja yang layak sulit didapatkan. Ironisnya, pada saat yang sama gelombang PHK terus terjadi dan tidak sedikit perusahaan yang menyalahgunakan pemagangan.
FSPMI memiliki kritik terhadap klaim pemerintah yang menyatakan penyerapan 10 juta lapangan kerja terpenuhi. Bagi FSPMI, pemerintah gagal menyediakan lapangan kerja yang layak. Kritik FSPMI didasarkan pada definisi Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan: “Bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang, dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit dilakukan selama 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu.”
Seharusnya, definisi bekerja yang dipakai mengacu pada UU 13/2003. Berdasarkan UU 13/2003, definisi pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Bekerja memiliki ketentuan, yakni 40 jam dalam seminggu dan mendapatkan upah sekurang-kurangnya upah minimum.
Jika klaim lapangan lapangan kerja yang tercipta tidak mengacu pada UU 13/ 2003, hal ini membodohi rakyat. Bagaimana mungkin orang yang bekerja 1 jam dalam satu minggu dikatakan sudah terserap dalam lapangan kerja?
Seruan untuk menghentikan PHK juga menjadi isu penting yang diangkat. Hal ini berdasarkan catatan FSPMI, akhir tahun 2018 terjadi gelombang PHK Jilid IV.
Situasi ini diperparah dengan adanya surat edaran Mahkamah Agung yang semakin mempersulit kaum buruh untuk memdapatkan upah proses dan putusan sela. Akibatnya, mudah saja perusahaan melakukan PHK. Apalagi proses penyelesaiannya yang lama, hingga bertahun-tahun. Akhirnya banyak buruh yang menyerah di tengah jalan akibat gajinya dihentikan dan kalau pun menang di PHI, eksekusinya sulit sekali.
Dilaporkan, di Serang, Banten, PHK terjadi di PT. Alcorindo (sekitar 600 orang buruh di PHK), PT RWA (sekitar 660 orang buruh di PHK), PT Grand Pintalan (sekitar 50 orang buruh di PHK), kemudian ada sebuah pabrik garmen yang melakukan PHK terhadap 600 orang buruh.
Di Bogor, Jawa Barat, PT. IKP tutup menyebabkan sekitar 600 orang buruh ter-PHK. Sementara PT. Tanashin juga dalam proses melakukan PHK, dimana 300 orang buruh terancam kehilangan pekerjaan.
Di Jakarta, PHK juga terjadi di PT. FNG yang mengakibatkan sekitar 300 orang buruh kehilangan pekerjaan, di PT. Pasindoi sekitar 56 orang buruh.
PHK besar-besaran juga terjadi di Purwakarta. Dimana tutupnya PT. OFN mengakibatkan sekitar 1.800 orang buruh di PHK, PT. Dada Indonesia menyebabkan 1300 orang buruh di PHK, dan PT. Iljunsun menyebabkan 1.400 orang buruh di PHK.
Di Subang, tutupnya PT. Hanson Yeol menyebabkan 3100 orang buruh ter-PHK. Sedangkan di Cimahi, PHK terjadi di PT. SN (Garmen) mengakibatkan 400 orang buruh kehilangan pekerjaan.
Celakanya, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Khairul Anwar mengatakan sepanjang tahun 2018, hanya ada 3.362 orang buruh yang di PHK. Tentu saja data tersebut tidak akurat. Dari tiga pabrik di Purwakarta saja, telah terjadi PHK di PT OFN (1.800 orang), PT. Dada Indonesia (1300 orang), dan PT Injunsun (1.400 orang) dengan total 4.500 orang buruh di PHK.
Ketika banyak pekerja di PHK, pemagangan hadir sebagai ancaman karena rawan dengan penyimpangan.
Siapa bisa mengawasi pelaksanaan pemagangan di dalam perusahaan? Selama ini saja karyawan kontrak dan outsourcing banyak terjadi pelanggaran dan Pemerintah tidak berdaya melakukan pengawasan. Ditambah dengan adanya pemagangan, maka bisa jadi kondisi kerja akan semakin burk
Kondisi pemagangan, bisa jadi lebih para dari outsourcing. Sebab pekerja outsourcing masih berhak atas upah, jaminan sosial, dan hak-hak yang lain. Sedangkan magang hanya mendapatkan uang saku. Bukannya mendapat pelatihan, mereka justru dieksploitasi. Dipekerjakan seperti layaknya pekerja, tetapi hanya mendapatkan uang saku.
2) Tolak Upah Murah, Cabut PP 78/2015 dan Jadikan KHL 84 Item
Kenaikan upah minimum tahun 2019 di Indonesia rata-rata hanya 8,03 persen. Dengan kenaikan sebesar itu, dipastikan daya beli buruh Indonesia akan turun. Hal ini karena kenaikan upah tidak bisa menutupi kenaikan harga.
Kenaikan upah minimum 8,03 hanya didasarkan pada inflansi dan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana yang diatur dalam PP 78/2015. Tentu saja ini memberangus hak serikat pekerja untuk melakukan perundingan upah. Beberapa daerah yang merekomendasikan kenaikan upah minimum di atas 8,03 bahkan diabaikan.
Bahkan untuk memaksa Kepala Daerah agar menaikkan upah sebesar 8,03 persen, Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan surat edaran Nomor B.240/M.NAKER/PHI9SK-UPAH/X/2018 yang salah satu isinya terkesan memberikan ancaman, bagi kepala daerah yang tidak nurut akan diberhentikan.
Itulah sebabnya, hingga saat ini, FSPMI masih menyerukan agar PP 78/2015 segera dicabut dan menuntut agar kenaikan upah minimum dikembalikan pada mekanisme KHL dengan terlebih dahulu meningkatkan kualitasnya menjadi 84 item.
3) Perbaiki Kinerja BPJS Kesehatan
Ketika FSPMI berjuang bersama-sama denga KAJS untuk melahirkan UU BPJS, ada tiga hal yang menjadi prinsip utama, yakni bersifat unlimited (sistem jaminan sosial kesehatan memiliki pembiayaan yang tidak terbatas), seumur hidup, dan menanggung semua penyakit. Tetapi kita melihat, saat ini BPJS Kesehatan gagal mewujudkan harapan itu.
Kondisi BPJS Kesehatan yang defisit terus menerus, bisa jadi yang akan dilakukan pemerintah adalah menaikkan iuran dan atau mengurangi manfaat yang didapatkan peserta. Kita masih sering mendengar, masyarakat merasakan layanan BPJS Kesehatan.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah defisit adalah dengan memaksimalkan kepesertaan pekerja formal. Jumlah pekerja formal yang bergabung di dalam BPJS Kesehatan masih terlalu rendah. Padahal catatan BPS, ada sekitar 54 juta pekerja formal. Apabila seluruh pekerja formal dan keluarganya terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan, defisit tidak akan terjadi.
Pemerintah juga harus menaikkan nilai PBI yang saat ini hanya Rp. 23.000. Padahal dari awal sudah jelas hitungan aktuaria para akademisi menyatakan idealnya untuk iuran PBI minimal Rp. 36.000.
FSPMI juga mencatat, kepesertaan pekerja yang di PHK juga masih belum ada kejelasan. Padahal dalam aturannya sudah sangat jelas, hingga 6 bulan setelah di PHK, pekerja masih berhak mendapatkan layanan kesehatan dari BPJS Kesehatan.
4) Regulasi Revolusi Industri 4.0
Revolusi industri 4.0 berpotensi menyebabkan gelombang PHK baru. Berdasarkan kajian McKinsey Global Institute, sebanyak 52,6 juta lapangan pekerjaan di Indonesia terancam tergantikan otomatisasi. Jumlah 52,6 juta itu setara dengan 52% angkatan kerja Indonesia. Dalam studi terbarunya, lembaga itu memperkirakan sekitar 800 juta pekerja di seluruh dunia akan kehilangan pekerjaan pada 2030.
Saat ini tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan kasus-kasus PHK yang terjadi. Jika hal ini dibiarkan, akan semakin banyak buruh yang di PHK. Adapun sektor industri yang akan terancam meliputi garmen, tekstil, elektronik, otomotir, farmasi, industri baja dan semen, dan sebagainya.
Menghadapi dampak yang sedemikian besar, persiapan yang dilakukan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan sejauh ini terkesan hanya berkutat pada sosialisi mengenai apa itu revolusi industri 4.0.
Semestinya yang dilakukan Menteri bukan sekedar melakukan sosialisasi, tetapi membuat regulasi terkait revolusi industri dan bagaimana memproteksi agar tidak terjadi PHK besar-besaran akibat revolusi industry.
5) Tolak TKA Cina Unskill
Di tengah gelombang PHK dan hadirnya revolusi industri 4.0 yang mengancam hilangnya banyak pekerjaan, keberadaan TKA yang tidak memiliki keahlian (unskilled) cukup mengkhawatirkan.
Bagi FSPMI, ini adalah tentang kedaulatan ekonomi. Berkaitan dengan hak setiap warga Negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Jangan sampai pekerjaan-pekerjaan yang semestinya bisa diisi oleh warga Negara Indonesia diserobot oleh TKA. Kekhawatiran ini cukup beralasan, seiring dengan investasi China yang cukup tinggi.
Apalagi, meskipun bukan yang tertinggi, data pemerintah menunjukkan bahwa jumlah TKA asal China adalah yang terbesar.
FSPMI tidak sependapat jika jumlah TKA dari Indoensia yang bekerja di luar negeri jumlahnya lebih besar jika dibandingkan demham TKA yang bekerja di Indonesia. Hal ini, karena, di negara itu kebutuhan tenaga kasarnya besar sekali karena penduduk asli tidak mau kerja di unskilled labor karena alasan gaji dan keselamatan. Di Indonesia konteksnya 60% angkatan kerja adalah lulusan SMP. Jadi supply pekerja kasar di Indonesia besar sekali, sementara masih ada 6,8 juta pengangguran menurut data BPS terbaru 2018.
Apabila buruh kasar terutama tenaga kerja asing ilegal dan tenaga kerja asing yang satu paket dengan turnkey project (mengatur bahwa mereka masuk investasi tetapi menggunakan produk, alat mesin, dan tenaga kerja dari mereka. Dan nggak boleh diganggu ) masuk ke Indonesia, bisa dipastikan, dampaknya akan menggerus kesempatan kerja tenaga kerja lokal.
Selain itu, FSPMI juga mendesak agar Perpres 20/2018 yang mengatur keberadaan TKA dicabut, karena Perpres 20/2018 justru menjadi peluang bagi membanjirnya TKA di Indonesia.
6) Turunkan Harga Bahan Pokok dan Tarif Dasar Listrik/TDL
Bahan kebutuhan pokok dan listrik terkait erat dengan hajat hidup masyarakat. Kenaikan harga pangan, termasuk beras, telah menyebabkan banyak orang mengalami kesulitan. Padahal Indonesia adalah negeri yang dikaruniai tanah air yang membentang luas dan subur.
Ironisnya, solusi yang dilakukan untuk memenuhi ketersediaan beras adalah dengan impor. Padahal pada saat yang sama, panen raya sedang terjadi. Oleh karena itu, kaum buruh mendesak agar Pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan.
Kenikan TDL juga membebani masyarakat, terutama buruh. Apalagi TDL 900 Va adalah merupakan salah satu komponen KHL, yang tentunya banyak digunakan.
Selain itu, yang harus dikritisi adalah kenaikan BBM. Jenis perlalite dan pertamax harganya terus mengalami kenaikan. Alasannya, jenis ini bukanlah BBM bersubsidi sehingga wajar jika harganya mengikuti mekanisme pasar. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat mengeluhkan adanya kelangkaan jenis BBM bersubsisi. Di banyak SPBU, premium seringkali dinyatakan sudah habis. Mau tidak mau, masyarakat akhirnya beralih ke pertalite atau pertamax. Itu artinya, mereka harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan BBM.
FSPMI menegaskan pentingnya subsidi untuk barang-barang yang dibutuhkan oleh hajat hidup orang banyak. Subsidi adalah kewajiban negara, untuk memastikan agar seluruh masyarakat bisa memenuhi hajat hidupnya. Jika dibebaskan melalui mekanisme pasar, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmati. Sementara orang kecil dan tak berpunya akan ‘gigit jari’.
7) Pilih Capres & Caleg yang Pro Kaum Buruh
FSPMI adalah organisasi buruh yang independen. Namun, KSPI tidak bersikap netral dalam setiap pemilihan calon presiden, pemilihan calon legislatif, maupun pemilihan calon kepala daerah.
Buruh tetap memiliki hak untuk terlibat dalam setiap proses politik. Karena itulah, sikap kita adalah independent but not neutral. FSPMI independen, bukan underbow partai politik. Bukan kepanjangan tangan partai politik.
But not neutral, ketika ada pemilu, pileg, pilkada, pilpres, maka suara buruh harus dikonsolidasi untuk memenangkan calon yang didukung dengan terlebih dahulu menandatangi kontrak politik. Itulah politik serikat buruh, independent but not neutral, sesuatu yang lazim terjadi di seluruh dunia
Sebagai contoh, serikat pekerja di Jerman (Deutscher Beamtenbund/DBB) turut berkampanye dalam pemilihan kanselir dan pemilihan legislatif. Serikat pekerja di Amerika Serikat (The American Federation of Labor and Congress of Industrial Organizations/AFL-CIO) yang berkampanye juga turut menyukseskan kemenangan Barack Obama sebagai presiden dua periode.
Dalam kaitan dengan itu, FSPMI sudah memutuskan untuk mendukung dan memenangkan Prabowo Subianto – Sandiaga Uno. Termasuk dengan memenangkan calon legislatif yang direkomendasikan oleh organisasi.