Jakarta,KPonline – Umar bin Khattab adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang sangat di kagumi oleh rakyatnya. Umar bin Khattab mengajarkan kepada kita sifat kepemimpinan yang di rindukan oleh rakyatnya. Bagaimana Umar keliling kampung pada malam hari tanpa dikawal ajudannya untuk melihat kondisi rakyatnya. Dan dia melihat satu keluarga yang anaknya sedang menangis karena tidak makan beberapa hari. Akhirnya Umar mengambil langsung satu karung makanan untuk diberikan kepada keluarga miskin tersebut. Umar merasa bersalah dan meminta maaf, juga meminta ampun kepada Allah SWT.
Dalam bukunya, Khulafaur Rasul Shallallahu Alayhi Wasallam, Syeikh Khalid Muhammad Khalid menjabarkan dengan sangat gamblang bagaimana gaya kepemimpinan Umar Bin Khattab Radhiyallahu Anhu. Sosok pemimpin yang tidak melakukan banyak rekayasa pencintraan terhadap dirinya. Tetapi memang benar-benar hadir dan mensolusikan secara nyata setiap persoalan yang menimpa seluruh rakyatnya.
Inilah lima gaya kepemimpinan beliau, adakah yang mirip dengan pemimpin kita?
Pertama, Musyawarah
Dalam bermusyawarah, Umar Radhiyallahu Anhu tidak pernah memposisikan dirinya sebagai penguasa. Ia meletakkan dirinya sebagai manusia yang sama kedudukannya dengan anggota musywarah lain.
Ketika ia meminta pendapat mengenai satu urusan, ia tidak pernah menunjukkan bahwa ia adalah pemegang kekuasaan, bahkan Umar selalu menanamkan perasan bahwa mereka adalah guru yang akan menunjukkannya ke jalan kebaikan, menyelamatkannya dari kesengsaraan hisab di akhirat, karena mereka membantunya dengan pendapat-pendapat mereka untuk memperjelas kebenaran.
Kedua, ‘APBN’ untuk Rakyat
Semua kekayaan negara dipergunakan untuk melayani rakyat. Kala itu, sesuai kebutuhan zaman, Umar mendirikan tembok-tembok dan benteng untuk melindungi kaum Muslimin. Umar juga membangun kota-kota untuk mensejahterakan seluruh rakyatnya.
Umar tidak pernah berpikir mengambil kesempatan atau keuntungan dari ‘APBN’ untuk kesenangan diri dan keluarganya. Malah Umar hidup dengan sangat zuhud, sehingga tidak tertarik dengan kemewahan, kenikmatan dan segala bentuk pujian manusia yang mudah kagum dengan harta benda.
Ketiga, Menjunjung tinggi kebebasan.
Dalam satu muhasabahnya, Umar berkata pada dirinya sendiri, “Sejak kapan engkau memperbudak manusia, sedangkan mereka dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka?”
Menurut Umar, semua orang memiliki kemerdekaan sejak lahir ke dunia. Umar sama sekali tidak takut akan kebebasan bangsanya, tidak pula khawatir akan mengancamnya, bahkan ia mencintai kebebasan manusia itu sendiri, seperti cinta seorang yang mabuk kepayang serta menyanjungnya dengan penuh ketulusan.
Pemahaman kebebasan menurut Umar sangat sederhana dan bersifat universal. Kebebasan menurutnya adalah kebebasan kebenaran. Artinya, kebenearan berada di atas semua aturan. Kebenaran apa itu? Tentu kebenaran Islam, bukan kebenaran kebebasan yang disandarkan pada logika liberalisme.
Keempat, Siap mendengar kritik
Suatu hari Umar terlibat percakapan dengan salah seorang rakatnya, orang itu bersikeras dengan pendapatnya dan berkata kepada Amirul Mukminin, “Takutlah engkau kepada Allah.” Dan, orang itu mengatakan hal itu berulang kali.
Lalu, salah seorang sahabat Umar membentak laki-laki itu dengan berkata, “Celakalah engkau, engkau terlalu banyak bicara dengan Amirul Mukminin!”
Menyaksikan hal itu, Umar justru berkata, “Biarlah dia, tidak ada kebaikan dalam diri kalian jika kalian tidak mengatakannya, dan kita tidak ada kebaikan dalam diri kita jika tidak mendengarnya.”
Kelima, Terjun langsung mengatasi masalah rakyatnya
Sangat masyhur (populer) di kalangan umat Islam bahwa Umar adalah sosok pemimpin yang benar-benar merakyat. Tengah malam, saat orang terlelap, ia justru patroli, mengecek kondisi rakyatnya. “Jangan-jangan ada yang tidak bisa tidur karena lapar,” begitu mungkin pikirnya. [Baca: Belajar “Blusukan’ dari Umar Bin Khattab]
Apakah sifat kepemimpinan Umar bin Khattab tersebut bisa ditiru oleh pemimpin-pemimpin di negeri ini. Tentu bisa. Asal ada kemauan. Kemauan untuk melayani adalah kuncinya. Melayani rakyat dengan tulus dan membantu mereka untuk hidup layak bahkan sejahtera. Karena sejatinya tugas kepemimpinan adalah tugas mulia untuk mensejahterakan rakyat.
Namun kepemimpinan modern akhir-akhir ini sudah dihinggapi oleh sifat hedonisme. Sebuah paham yang berpandangan bahwa kesenangan merupakan tujuan hidup. Atau dalam ajaran Islam bisa juga disebut dengan sedang terjangkit penyakit “Wahn”, cinta dunia dan takut mati. Bagaimana para pejabat kita banyak yang tersandung kasus korupsi, padahal gajinya sudah lebih dari cukup. Dan bagimana para pemimpin kita yang masih hidup glamor, padahal rakyatnya masih miskin dan menderita.
Menjadi pemimpin suatu negeri atau daerah adalah amanah. Yang akan dimintai pertanggung jawabannya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Menjadi pemimpin yang amanah dan rela berkorban adalah suatu keniscayaan. Karena masyarakat Indonesia sedang mencari dan menunggu pemimpin yang mampu menjadi kebanggaan dan mampu mengangkat derajatnya.
Seorang pemimpin tidak hanya dilahirkan, tetapi juga bisa dibentuk. Membentuk karakter pemimpin yang rela berkorban untuk rakyatnya memang tidak mudah, namun juga tidak sulit. Oleh kaena itu, persiapkan diri kita dan anak-anak kita untuk menjadi pemimpin yang mencintai rakyatnya. Bukan pemimpin yang dzolim. Juga bukan pemimpin yang suka membuat kerusakan.
Indonesia dan dunia sedang mengalami krisis kepemimpinan. Rakyat Indonesia sedang menantikan pemimpin yang mampu mengatasi persoalan-persoalan bangsa. Korupsi, kolusi, nepotisme, narkoba, kenakalan remaja, pekerja asing, pengangguran, kemiskinan, kebodohan, kerusakan moral, dan juga permasalahan-permasalahan lainnya yang bisa membawa Indonesia kepada kehancuran.(Ete)