Mojokerto, KPonline – Dewan Pengupahan Kabupaten Mojokerto pada hari Selasa (06/10/2018), mengadakan rapat pembahasan rekomendasi upah minimum tahun 2019 di Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Mojokerto di jalan Pemuda Kecamatan Mojosari.
Bertempat di lantai 2 kantor itu, rapat dipimpin langsung oleh Plt Kepala Dinas Tenaga Kerja Mojokerto Drs. Nugraha Yudhi Sulistya, M.Si, dengan dihadiri berbagai elemen dewan pengupahan yang terdiri dari perwakilan pengusaha, serikat pekerja dan instansi terkait.
Berdasarkan hasil rapat, Pemkab Mojokerto untuk tahun 2019 mengusulkan kenaikan UMK sebesar 8,03% atau kalau dirupiahkan senilai 3.851.983,38. Hal itu mengacu pada Peraturan Pemerintah No.78 tahun 2015 tentang Pengupahan dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja mengenai penyampaian nilai pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional.
Meskipun sebagian besar Dewan Pengupahan menyepakati hasil rapat, namun dengan tegas FSPMI Mojokerto menolak usulan tersebut. Melalui perwakilannya di Depekab yaitu Eko Nugroho, FSPMI menolak menandatangani berita acara hasil rapat. Eko menganggap nilai rekomendasi yang dihasilkan tidak mencerminkan upah yang layak dan berkeadilan serta menjadi bukti adanya ketakutan Pemkab yang tidak berdasar.
” PP 78 dan SE Menaker itu tidak mengakomodir kondisi dan kebutuhan riil ekonomi buruh, dasar kenaikan upah cuma sebatas nilai asumsi. Usulan kami berupa item peningkatan kualitas yang tahun kemarin sudah berjalan, ternyata tahun ini tidak dipakai. Ini bentuk penurunan upah, Kami menolak dan tidak menyepakati usulan tersebut, ” Jelas Eko menguraikan.
Di lansir dari media massa Plt.Kadisnaker Mojokerto Nugraha mengatakan banyak​ perusahaan yang relokasi dari Mojokerto, salah satunya lantaran tingginya UMK Kabupaten Mojokerto dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Di sisi lain Pemda Mojokerto kuatir berkurangnya investasi yang masuk dan semakin tingginya pengangguran terbuka.
Dihubungi di tempat terpisah, Ketua Konsulat Cabang FSPMI Mojokerto Ardian Safendra menyampaikan, ” PP 78 itu tidak sesuai tujuannya, telah terjadi penurunan upah yang mengakibatkan daya beli jatuh, disparitas semakin menganga, PHK dimana-mana dan perusahan banyak yang pindah ke daerah yang upahnya lebih murah. Omong kosong dengan janji upah layak, PP 78 wajib dicabut, ” Sungutnya.
Menurut Ardian, daerah yang usulannya mengacu pada PP 78 sama artinya mengekor pemerintahan pusat untuk melanggar undang-undang. Aturannya penentuan upah itu dihitung dari kebutuhan riil buruh bukan saklek hanya nilai pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi.
Kaum buruh atau siapapun, tentu tidak ingin di tahun depan hidup dengan kecukupan ekonomi yang sebatas kira-kira (asumsi), tanpa ada kepastian dan evaluasi berkalanya. Ditambah lagi ketidakmampuan pemerintah mengontrol tidak melonjaknya harga kebutuhan pokok. Absurd!!
Soal perbaikan kualitas Ardian mencontohkan kebutuhan air bersih, dimana dalam KHL hanya 2 meter kubik per bulan, yang menurutnya hanya cukup untuk mandi 2 hari saja. Selain itu, tahun kemarin disepakati rumah kontrakan, sekarang KHL kembali dihitung seharga kamar kost. FSPMI yang meminta kualitas item KHL nya dipertahankan/diperbaiki malah ditolak. Alasannya SE Gubernur tentang perbaikan kualitas hanya berlaku untuk tahun 2014 saja.
” Daerah yang mengusulkan UMK berdasarkan PP 78 dan SE Menaker, sama saja telah memiskinkan masyarakatnya. Mereka lebih peduli pada pengusaha, bukannya fokus pada rakyatnya. Maka sesuai survey, FSPMI mengusulkan UMK Mojokerto 2019 sebesar 4,2 juta. Itu nilai yang riil, layak dan berkeadilan, ” Tandasnya.
Senada ketuanya, Sutikno salah satu buruh FSPMI yang ikut mengawal rapat mengatakan, ” Bupati jangan takut dipecat karena mengusulkan upah yang layak, wong dia kita yang pilih kok. Lha kalau buruhnya miskin, apa nanti juga tidak akan menjadi beban pemerintah daerah lagi? Mbok ya mikir… PP 78 itu ibaratnya lingkaran setan yang ketemu setan, jangan kesetanan lah,” Selorohnya.
Penentuan upah memang sangat krusial karena menyangkut hajat hidup banyak orang, namun bukan berarti harus mengesampingkan kebutuhan dasar dan mengorbankan kepentingan rakyat. Memaksakan kebijakan atas dalih mengutamakan investasi, belum tentu dirasakan langsung oleh masyarakat. Apalagi setelah upah naik, besar kemungkinan BBM, PLN dan LPG juga ikut terkerek naik. Multi efek memang, namun Pemerintah seharusnya sadar dan paham, bahwa kepentingan rakyat haruslah diatas kepentingan apapun, sebab tanpa rakyat tidak akan ada pemerintahan.
Kontributor Mojokerto
Paman Herman