Undang Undang Cipta Kerja, Pengurangan Paksa Nilai Kesejahteraan Bagi Kelas Pekerja

Undang Undang Cipta Kerja, Pengurangan Paksa Nilai Kesejahteraan Bagi Kelas Pekerja

Purwakarta, KPonline – Seperti diketahui, hingga saat ini UU Cipta Kerja (Omnibuslaw) terus menuai kontra di kalangan kelas pekerja. Dimana, menurut kelas pekerja atau kaum buruh, Undang-undang Cipta Kerja tidak lebih baik dari pada Undang-undang sebelumnya, yakni Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Oleh sebab itu, sampai saat ini kelas pekerja atau kaum buruh terus menyuarakan penolakan dengan beragam aksi hingga Judicial Review (JR).

Bacaan Lainnya

UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Ciptaker merupakan pengesahan dari Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Ciptaker. Perppu Ciptaker itu diterbitkan Jokowi pada 30 Desember 2022, lalu disepakati DPR untuk disahkan jadi undang-undang pada 21 Maret 2023.

Perppu Ciptaker buatan Jokowi di ujung 2022 itu menggantikan UU Ciptaker sebelumnya, UU 11/2020, yang diputuskan MK inkonstitusional bersyarat pada 25 November 2021.

Dalam putusannya kala itu MK memberi waktu bagi pembuat undang-undang melakukan perbaikan dalam dua tahun setelah putusan dibacakan, atau UU 11/2020 tentang Ciptaker dinyatakan inkonstitusional sepenuhnya.

Setidaknya, ngototnya pemerintah memaksakan UU Cipta Kerja tetap hadir menggambarkan pengurangan paksa nilai kesejahteraan bagi kelas pekerja disuguhkan dengan jelas secara sistematis dan terstruktur.

Dan wajar saja bilamana kemudian ada yang berasumsi demikian. Kenapa? Salah satunya adalah terkait hal pengupahan dimana di UU Cipta Kerja menyebutkan Gubernur dapat menentukan Upah Minimum Kabupaten atau Kota (UMK).

Seharusnya, kata “dapat” harus dihapuskan. Sebab dengan menggunakan kata ‘dapat’, maka artinya UMK bisa ditetapkan dan bisa juga tidak.

Selain itu, dihapusnya upah sektoral menyebabkan kerugian bagi kelas pekerja atau kaum buruh.

Tak sampai disitu, dalam Perppu Ciptaker, pemerintah membebaskan dan tidak mengatur tentang batasan jenis pekerjaan alih daya atau outsourcing. Pasal 64 ayat (1) perubahan atas UU Ketenagakerjaan mengubah ketentuan mengenai penyertaan perjanjian pemborongan dalam perjanjian penyerahan pekerjaan alih daya. Perjanjian pemborongan mengatur tentang jenis-jenis pekerjaan seorang pekerjaan alih daya yang meliputi; dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Dengan tidak adanya suatu spesifikasi yang jelas terkait ciri-ciri pekerjaan outsourcing, maka akan membuat penggunaan tenaga outsourcing semakin bebas tanpa ada kebijakan yang jelas mengatur.

*Bersambung.

Pos terkait