Upah Buruh & Jerat Kemiskinan
Sejauh ini mekanisme penetapan Upah Minimum seringkalidianggap sebagai biang ketidakadilan struktur bagi kaum buruh. Kalaulahdemikian realitasnya, maka perlu dipertanyakan abnormalitas sistem yang ada.Uraian mengenai faktor-faktor struktural yang dianggap sebagai jerat kemiskinanakan menjadi bagian krusial dari tulisan ini demi menjustifikasi adanya strukturyang eksploitatif dalam konteks pengupahan. Tulisan ini hendak ditutup denganmendesaknya wacana akan peluang bagi perubahan struktural terhadap bangunansistem yang eksploitatif.
Kebijakan pengupahan: relasi dialektis buruh dan pemodal
Sejauh yang dapat dilacak dalam sejarahnya, pengupahan menempati isusentral dalam relasi industrial antara buruh dan pemodal. Di awal eksistensinya,kapitalisme telah memproduksi dan mereproduksi kontradiksi inheren didalamnya.
Dalam konteks ini, upah buruh menjadi salah satu produk darikontradiksi yang melekat dalam relasi eksploitatif antara kelas kapitalis dan buruh. Demikian juga dalam konteks kehadirannya di negara kapitalis pinggiran (periferal), upahburuh menjadi isu sentral yang merefleksikan konflik dan relasi dialektis antarakelas kapitalis dan kelas buruh. Resistensi sosial yang muncul kemudianseringkali tidak mampu mengubah relasi industrial yang eksploitatif dan penuhketimpangan selama ini. Gerakan-gerakan buruh yang menuntut kelayakan danperbaikan nasib ujung-ujungnya berakhir dengan negosiasi antara tripartit negara-kapital-buruh
Bahwa selama eksploitasi dan penindasanterhadap kaum buruh tetap ada, maka aktivisme dan kemampuan organisasionalburuh menjadi tidak terlalu signifikan dalam mengubah struktur yang eksploitatif.Ditambah dengan realitas perburuhan di Indonesia pasca reformasi yang memiliki kecenderungan terjadinya polarisasi gerakan yang sporadis, fragmental, dan lemahsecara organisasional.
Faktor-Faktor Struktural Pengupahan Sebagai Jerat Kemiskinan
Sebagaimana telah diargumentasikan penulis sebagai justifikasi dalamtulisan ini, keharusan perubahan tatanan struktural menjadi faktor krusial demiperbaikan kondisi kaum buruh selama ini. Tulisan di bawah ini hendak menjelaskan faktor-faktor struktural yang inheren melekat dalam kebijakanpengupahan sehingga mau tidak mau buruh harus menerima kenyataan dirinyaberada dalam proses alienasi dan jerat kemiskinan struktural.
Setidaknya penulis menjelaskan bahwa ada tiga faktor struktural yang menjadi pangkal kemiskinandan eksploitasi terhadap kaum buruh di Indonesia. hubungan eksploitatif antara kapitalisdan buruh, serta ketiga, otonomi relatif negara yang memberi sumbangsih pada pelestarian eksploitasi kaum buruh.Salah satu faktor yang menjadi penyebab mengapa kemiskinan terkadangnampak inheren dengan kelas buruh adalah adanya pertukaran yang tidak adildalam proses produksi.
Mengikuti nalar pikir kapitalis yang secara sederhana berupaya mengejar surplus keuntungan sebesar-besarnya, maka upah harusditempatkan sebagai salah satu beban produksi yang mesti diminimalisasisedemikian rupa. Hal ini tentu saja berkorelasi negatif dengan nasib buruh yangsenantiasa berada dalam subsistensi sistem. Menempatkan buruh dalam nalarberpikir semacam inilah yang mengawali proses alienasi dan penindasan kaumburuh dalam konteks sejarahnya.
Salah satu teoritisi pembangunan Dunia Ketiga, proses pengalihan surplus dari negara-negara periferalke negara-negara sentral sebagai akibat proses perdagangan internasional di antarakeduanya. Negara-negara kapitalis periferal menjadi pemasok utama sumberdayadan bahan baku mentah sekaligus menjadi lahan pemasaran bagi negara-negarakapitalis sentral.
Pengalihan surplus ekonomi juga dilakukan melalui pasar tenaga kerja yang murah di negara-negara Dunia Ketiga.Bahwa tingkat upah yang rendah di negara-negara terbelakangdalam memproduksi barang-barang ekspor ke negara-negara maju dalam prosesperdagangan internasional adalah penyebab utama terjadinya pengalihan surplusbesar-besaran dari negara-negara terbelakang ke negara-negara maju.
Argumentasi di atas didukung oleh realitas yang ada saat ini dimanaperusahaan-perusahaan transnasional menjalankan operasi bisnisnya di negaraberkembang atas dasar melimpah-ruahnya tenaga kerja yang mau dibayar murah.Dalam konteks Indonesia, upah buruh yang murah justru menjadi salah satukeunggulan komparatif demi menarik gairah penanaman modal. Alih-alihinvestasi dalam bingkai globalisasi dan pasar bebas yang menjanjikan perbaikanekonomi, negara Dunia Ketiga justru sekadar dijadikan wilayah operasi bisnis manufaktur yang pada akhirnya terjadi pengalihan surplus keuntungan baginegara kapitalis sentral. Pihak yang paling parah menanggung eksploitasi ini tentusaja kaum buruh yang dimarginalisasi dan teralienasi dalam proses produksi.Tingkat upah sebagai pembayaran terhadap faktor buruh telah terbentuk jauh dibawah nilai produktivitas.
karena dua hal;pertama, secara sadar atau tidak buruh dianggap sebagai kelas paria atau kelas kulioleh kelas dominan sehingga mereka tidak dimungkinkan memiliki posisi tawaryang kuat dalam proses produksi. Kedua, situasi surplus buruh dalam ekonomisecara keseluruhan yang telah mengakibatkan banyaknya orang yang bersediadibayar murah asalkan mendapat pekerjaan. Hal ini secara kelembagaanmendorong ketentuan pengupahan yang tidak berpihak kepada kaum buruh.
Otonomi relatif negara, sumbangannya bagi kemiskinan struktural buruh
Relasi yang eksploitatif oleh pemodal terhadap buruh semakin diperparahdengan peran negara yang acapkali lebih berpihak pada kekuatan kapital. Dayatawar kelas kapital dalam proses produksi semakin meningkat di tengah situasipasar tenaga kerja yang monopsonistik dan celakanya negara justru lebih banyak memihak kepada kekuatan kapital tersebut.
Agaknya otonomi relatif negara masihrelevan dalam membaca fenomena perburuhan yang terjadi saat ini. Negaradengan otonomi relatifnya tidak semata-mata dilihat sebagai komite eksekutif kaum borjuasi untuk menindas kaum buruh, melainkan harus didudukkan sebagaiaktor yang relatif otonom dari kepentingan pemodal dan masyarakat.Otonomi relatif negara muncul karena dua hal mendasar. Pertama, Negara memiliki kemampuan untuk menerka-nerka kepentingan jangka panjang yangmelampaui kepentingan jangka pendek kelas kapitalis.
Dalam konteks ini, negaraterkesan membela kepentingan kaum buruh, seperti menyediakan pendidikanmurah. Namun efek jangka panjangnya, adanya buruh yang pintar ujung-ujungnyamenguntungkan kaum kapitalis dengan produktivitas yang meningkat. Kedua,negara juga memiliki peran arbitrer dalam menegosiasikan kepentingan buruh danpengusaha yang saling bertentangan satu sama lain. Hal ini dapat dilihat dalammekanisme pengupahan dimana negara memainkan fungsi arbitrasi untuk mendamaikan kepentingan buruh dan pengusaha, namun ujung-ujungnyakepentingan kapitalis lah yang lebih diprioritaskan dengan dalih produktivitasekonomi jangka pendek .
Reformasi politik pasca Soeharto dapat dilihat sebagai perubahan relasinegara dan kapital. Melalui kebijakan privatisasi, peran negara yang selama initerlalu intervensionis sedikit demi sedikit dipreteli, namun fungsi regulator negarasebagai penyedia kerangka regulasi tetap dipertahankan. Fungsi regulasi iniberkenaan dengan kebijakan liberalisasi perdagangan, pengurangan subsidi danbelanja publik, privatisasi, dan deregulasi ekonomi. Jika dilihat dari perspektif Marxis konvensional, reformasi pasca Soeharto mesti dipahami sebagai prosesdiferensiasi peran negara dan pemilik modal sebagai kondisi tak terelakkan dariperkembangan kapitalisme.
Jelaslah sudah bahwa kebijakan ekonomi yang digariskan negara selamaini cenderung mengikuti nalar pikir neoliberal. Kebijakan ekonomi selama inidiciptakan demi memaksimalisasi produktivitas yang kompetitif yang ujung-ujungnya menaikkan surplus ekonomi bagi kapitalis domestik dan internasional.Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, salah satu surplus yang diperolehpemodal justru berasal dari nilai lebih yang diterima dari upah buruh yang murah.
Peluang perubahan atas relasi yang eksploitatif
Penguatan kapasitas organisasional dan ideologis buruh dalam satu wadahserikat buruh yang kuat agaknya sulit meraih signifikansi tujuan bagi perbaikannasib kaum buruh di Indonesia. Jalan kapitalisme yang ditempuh negara pascakolonial seperti Indonesia tidak memungkinkan lahirnya sebuah gerakan buruhyang mapan secara ideologis .
Liberalisasi pengorganisasian buruh justru menimbulkan lahirnya serikat buruh yang tidak konstruktif dan bahkancacat secara kelembagaan. Peluangterjadinya transformasi perburuhan nampaknya jauh lebih potensial jika dilihatdari kacamata struktural. Perubahan atas relasi yang eksploitatif harus dimulaidengan perombakan faktor-faktor struktural yang selama ini menjerat kaum buruhdalam proses alienasi dan eksploitasi proses produksi.
menjadiawal munculnya eksploitasi sumberdaya dan pengalihan surplus ekonomiolehnegara-negara kapitalis sentral dari negara-negara periferal. Selain itu, hubunganindustrial yang bercorak eksploitatif antara kapitalis dengan buruh semakinmemposisikan buruh hanya sebagai faktor produksi dengan upah yang mestiditekan seminimal mungkin demi keuntungan yang optimal.
Selain relasi antara buruh dan kapitalis, peran negara dalam konteks otonomi relatifnya juga memberi sumbangsih bagi kaum buruh.
status quo
penindasan kaum buruh.Upaya transformasi struktural mesti diarahkan pada proses dekonstruksifaktor-faktor ketimpangan yang ada. Pendekatan-pendekatan yang dilakukanpemerintah selama ini hanya berkutat pada pemberian insentif dan stimulusekonomi jangka pendek atau sementara. (Ardi )