Swarnabhumi, KPonline – Bulan Desember, adalah bulan sakral bagi kaum buruh di bumi Swarnadipa. Bulan penentuan gaji bin upah yang akan diputuskan oleh sang pengemban amanah alias government di masing-masing negeri.
Harap-harap cemas membungkus kaum pejuang gobang, menunggu hadirnya kesejahteraan melalui kenaikan upah. Ataukah semakin membenamkan mereka dalam jurang penumpukan hutang karena berkurangnya pendapatan.
Begitu sakralnya hingga begawan ekonomi sampai resi perpolitikan terdiam bisu gagu tak mampu melafal mantra sakti untuk membantu kaum recehan sekedar menyambung periuk nasi yang semakin doyong.
Beruntungnya sang pinandhito maha pranoto bowo, setelah beranjangsana ke negeri seberang membawa kabar baik, bahwa upah minimum dinaikkan 6,5 % tanpa tedeng aling-aling bersabda melalui juru mantri ketenagakerjaannya.
Berdasarkan peraturan juru mantri ketenagakerjaan, di sabdakan bahwa selain upah minimum naik derajat sebesar 6,5%. Upah Sektoral yang selama ini di belenggu oleh oligarki kedinastian oligarki akhirnya dimunculkan kembali.
Hal itu membuat jagat kaum pekerja buruh kembali padang sumebyar hingga keringat mereka tak lagi berbau kecut namun semerbak kasturi menembus sanubari para istri mereka yang biasa bergelut dengan terasi dan rumus penghematan super porsi.
Namun mimpi tinggal mimpi, kenaikan upah yang digadang-gadang memberikan sedikit nafas kesejahteraan dan sekadar mengganjal perut biar tidak keroncongan. Hanya tinggal janji dan kertas buram regulasi yang tak laku digadaikan untuk sepiring nasi aking.
Tak lain dan tak bukan adalah kelakuan para government daerah yang suka clingak-clinguk ngintip daerah sekitarnya untuk memutuskan kenaikan upah bin gaji. Terlebih upah sektoral yang dikhususkan juga kian enggan ditetapkan dengan sejuta alasan yang tidak bisa dijelaskan lewat kata dan norma. Sungguh biadabnya.
Para bawahan sang pinandhito mungkin nalarnya cekak dan transaksional, kalau upah minimum saja sudah lebih dari cukup, kenapa harus ditetapkan upah sektoral yang membebani pengusaha dan memanjakan para pekerja buruh. Kenapa juga harus menetapkan upah sektoral yang melawan perusahaan, wong para pengusaha itu yang selama ini mendukung dia duduk di government kok.
Entah karena lupa atau memang gak paham atau alasan lain yang berhubungan dengan upeti, dalam surat juru mantri itu aturan upah tahun ini dibuat khusus dan urgensi agar para goverment menindaklanjuti. Sabda sang pinandhita dicoba dicari celahnya agar mereka tidak dimusuhi pendukung sendiri.
Upah sektoral ibarat kentut, ada suara ada aroma namun tidak ada wujudnya. Diskresi para goverment daerah sebagai manifestasi sabda raja dan pengemban amanah, tinggal jadi janji busuk yang diharapkan mengenyangkan para pejuang recehan gobang.
Para pekerja, para buruh, istri dan anaknya, haruskah kembali disuruh puasa dan menahan ekonominya? Belum puaskah mereka, saat raksasa omnibuslaw masih menjelma dan menghisap sari kehidupan hingga ke endok-endoknya? Sampai kapan pekerja buruh hanya dicekoki busuknya mimpi kesejahteraan dan harus kenyang menerima keadaan?
Padahal jelas, upah adalah urat nadi pekerja buruh, jantungnya kesejahteraan dan ususnya pemerataan ekonomi. Upah minimum yang dianggap maksimum, upah sektoral bukan sensual. Toh tidak semua perusahaan mampu dan mau menjalankannya. Kok tega?
Mungkin inilah saatnya kaum pekerja buruh kentut bersama dimuka para penguasa, atau memuntahkan rasa mual bersama yang sudah memenuhi setiap lubangnya. Penguasa bukan dewa, amanah yang dititipkan bisa dicerabut kembali.
Mendung kembali bergelayut di bumi swarnadipa. Entah karena saling rebut cuci tangan ataukah periuk yang terenggut oleh penguasa lacut. Si abdi tengah cancut tali pecut, mengencangkan kancut berancang gelut. Akankah sang yang samar ikutan kentut?
Jumadil awal, mongso labuh
Alas Kenikir anno 1958
Gobang Ronce Kinasih