UU Cipta Kerja Sebaiknya Dibuang ke Tempat Sampah

UU Cipta Kerja Sebaiknya Dibuang ke Tempat Sampah
Buruh melakukan aksi serentak di berbagai kota untuk menolak omnibus law UU Cipta Kerja. Aksi unjuk rasa ini dilakukan bersamaan dengan sidang uji materiil di Mahkamah Konstitusi, Senin (8/7). Foto: Media Perdjoeangan

Jakarta, KPonline – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, secara tegas menyatakan bahwa Omnibus Law UU Cipta Kerja sebaiknya dibuang ke tempat sampah. Pernyataan keras tersebut ia sampaikan di Kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, pada Senin, 8 Juli 2024.

Menurutnya, alih-alih menciptakan lapangan kerja baru, UU ini justru memperparah kondisi pekerja dengan meningkatnya jumlah PHK di berbagai sektor.

Iqbal mengungkapkan bahwa sejak diberlakukannya UU Cipta Kerja, industri tekstil yang menjadi salah satu sektor penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia mengalami gelombang PHK besar-besaran. “Undang-Undang Cipta Kerja katanya untuk menyerap tenaga kerja, faktanya PHK di mana-mana,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa UU Cipta Kerja tidak mampu melindungi industri tekstil dari derasnya impor produk tekstil yang merugikan produsen lokal.

Tak hanya sektor tekstil, Iqbal juga menyoroti industri kurir dan logistik yang sedang mengalami tekanan besar. Perusahaan-perusahaan besar seperti Shopee, Blibli, Tokopedia, dan TikTok yang turut bermain di industri ini, disebut Iqbal akan melakukan PHK ribuan pekerja dalam waktu dekat.

“Industri kurir dan logistik seperti Shopee, Blibli, Tokopedia, TikTok. Ikut-ikutan main di industri kurir dan logistik. Dalam bulan ini akan PHK ribuan orang di industri logistik,” lanjutnya.

Said Iqbal mengkritik tajam UU Cipta Kerja yang dianggapnya tidak berdampak positif bagi pekerja. Menurutnya, UU ini justru memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan PHK secara massal dengan alasan efisiensi. “Tidak ada tuh Undang-Undang Cipta Kerja yang katanya menyerap tenaga kerja. Yang ada justru perusahaan sekarang kesempatan PHK pekerja,” tegas Iqbal.

Salah satu poin krusial yang disoroti oleh Iqbal adalah perubahan ketentuan pesangon dalam UU Cipta Kerja. Berdasarkan UU tersebut, pesangon yang diterima pekerja hanya sebesar 0,5 persen dari pendapatan, jauh lebih kecil dibandingkan ketentuan sebelumnya yang memberikan pesangon sebesar dua kali pendapatan. Hal ini menurut Iqbal membuat perusahaan lebih mudah mem-PHK pekerjanya.

“Makanya PHK itu gampang. Undang-Undang Cipta kerja buang saja di tempat sampah,” tambahnya.

Seorang pendemo memegang poster yang menjelaskan bahwa UU Cipta Kerja membuat pengusaha semakin mudah melakukan PHK dengan pesangon yang murah. Foto: Media Perdjoeangan

Saat ini, Omnibus Law UU Cipta Kerja tengah digugat di Mahkamah Konstitusi oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk serikat pekerja dan organisasi buruh. Gugatan ini telah memasuki tahap mendengarkan keterangan saksi ahli yang diharapkan dapat memberikan pandangan objektif terhadap dampak UU tersebut bagi pekerja dan perekonomian nasional.

Gelombang PHK yang terjadi di berbagai sektor industri akibat penerapan UU Cipta Kerja telah menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Ribuan pekerja yang kehilangan pekerjaan menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan baru di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi. Ketidakpastian ini tidak hanya mempengaruhi kehidupan pekerja secara individu, tetapi juga berdampak pada keluarganya.

Bagi banyak keluarga pekerja, kehilangan pekerjaan berarti kehilangan sumber penghasilan utama. Hal ini berdampak pada kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan. Situasi ini diperburuk dengan adanya inflasi dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, yang semakin menekan daya beli masyarakat.

Bagi serikat pekerja, UU Cipta Kerja merupakan tantangan besar dalam upaya melindungi hak-hak pekerja. Serikat pekerja harus bekerja lebih keras untuk memastikan bahwa pekerja tetap mendapatkan perlindungan yang layak di tengah perubahan regulasi ketenagakerjaan. Mereka harus meningkatkan kapasitas advokasi dan negosiasi untuk menghadapi kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada pekerja.

Selain itu, serikat pekerja juga harus memperkuat solidaritas di antara anggotanya dan memperluas jaringan kerjasama dengan serikat pekerja lainnya, baik di dalam maupun luar negeri. Hanya dengan solidaritas dan kerjasama yang kuat, serikat pekerja dapat memperjuangkan hak-hak pekerja secara efektif.

Pernyataan Said Iqbal yang menegaskan bahwa UU Cipta Kerja layak dibuang ke tempat sampah mencerminkan kekecewaan dan ketidakpuasan yang mendalam di kalangan pekerja terhadap UU tersebut. Gelombang PHK yang terjadi di berbagai sektor menunjukkan bahwa UU ini tidak mampu memenuhi janji-janjinya untuk menciptakan lapangan kerja baru dan melindungi pekerja.

Sebaliknya, UU Cipta Kerja justru memperburuk kondisi ketenagakerjaan dengan mempermudah proses PHK dan mengurangi besaran pesangon yang menjadi hak pekerja. Oleh karena itu, serikat pekerja dan organisasi buruh terus mendesak pemerintah dan DPR untuk mencabut atau merevisi UU ini demi kepentingan pekerja dan stabilitas sosial ekonomi Indonesia.

Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi serikat pekerja untuk terus memperkuat advokasi, meningkatkan solidaritas, dan memperjuangkan hak-hak pekerja agar tetap terlindungi di tengah perubahan regulasi yang ada. Hanya dengan upaya bersama, keadilan dan kesejahteraan bagi pekerja dapat tercapai.