Waspada Macet ! Buruh Jepara Bakal Demo Tuntut Kenaikan UMK Jepara Tahun 2022

Waspada Macet ! Buruh Jepara Bakal Demo Tuntut Kenaikan UMK Jepara Tahun 2022

Jepara, KPonline – Seribuan buruh di Jepara bakal menggelar aksi demonstrasi pada Selasa (26/10/2021) di depan kantor Bupati Jepara dan DPRD Kabupaten Jepara.

Aksi demonstrasi akan diikuti oleh serikat buruh yang ada di Jepara, dalam rangka menuntut kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Jepara di tahun 2022, Sabtu (23/10/2021).

Mereka menuntut kenaikan UMK Jepara tahun 2022 diatas 10 %, yang didasarkan pada hasil kalkulasi survey harga kebutuhan pokok yang ada di pasar.

Bersamaan dengan hal tersebut, buruh juga menolak penetapan UMK Jepara tahun 2022 menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2021, yang justru merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang sejak kemunculannya ditolak oleh masyarakat terutama kalangan buruh.

Aksi serupa, kabarnya akan dilakukan secara serempak oleh serikat buruh yang tergabung dalam affiliasi Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), yang tersebar di 34 provinsi dan hampir 400 di kabupaten/kota di Indonesia.

“KSPI akan mengorganisir aksi-aksi penolakan UMK 2022 dan meminta pemerintah daerah Bupati/Wali Kota untuk menetapkan upah minum kabupaten/kota tidak menggunakan UU Cipta kerja atau PP 36”, ucap Said Iqbal Presiden KSPI dalam konferensi persnya.

 

Buruh menganggap, penentuan upah minimum menggunakan PP Nomor 36 Tahun 2021 justru membuat buruh semakin terkurung lama dalam keterpurukan.

Bagaimana tidak?

Pandemi Covid-19 telah menghancurkan daya beli buruh dan menimbulkan ledakan PHk dimana-mana. Harusnya, ada upaya atau kebijakan dari pemerintah untuk meningkatkan kembali daya beli buruh dan masyarakat, salah satunya dengan cara menetapkan upah yang layak bagi buruh.

“Untuk meningkatkan daya beli buruh, maka salah satu instrumennya adalah menetapkan kenaikan upah atau UMK menjadi upah yang layak”, kata Said Iqbal.

Selain itu, menentukan upah minimum menggunakan UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja atau turunannya dianggap sebagai bentuk ketidakpihakan pemerintah kepada kaum buruh.

Mengingat UU Cipta Kerja masih dalam kondisi digugat oleh buruh di Mahkamah Konstitusi dan proses hukumnya pun masih berjalan.

Suatu bentuk kerugian bagi buruh apabila pemerintah memaksakan hal tersebut sebelum proses hukum berakhir.

“Karena masih digugat, kan kacau dong. Begitu dimenangkan oleh MK, perusahaan sudah menetapkan UMK yang ditetapkan oleh pemerintah menggunakan Omnibus Law. Harusnya pemerintah menunggu dulu,” imbuh Said Iqbal.

(Dedi)